Selasa, 02 April 2013

Di Mana Allah




Alkisah, ada seorang pemuda yang bekerja sebagai penggembala domba. Jumlah domba
yang dia gembalai berjumlah ratusan ekor. Bertahun-tahun dia bekerja tanpa pernah
mengeluh meski hasil jerih payahnya tak seberapa.

Suatu ketika, datang seorang musafir yang sangat kehausan setelah menempuh
perjalanan jauh. Melihat ada pengembala domba tersebut, gembiralah hati musafir itu.
Sang musafir meminta minum kepada si pemuda penggembala tersebut. Namun, pemuda
itu menjawab bahwa dirinya tak punya air minum untuk diberikan kepada si musafir.
Musafir tersebut kemudian memohon memelas agar diizinkan mengambil air susu dari
seekor domba yang digembalakan si pemuda itu. Pemuda tersebut menolak dengan
halus. “Ayolah, saudaraku. Tolonglah aku. Aku sangat haus. Izinkan aku untuk memerah
dombamu sekadar beberapa teguk untuk menghilangkan dahagaku,” ujar sang musafir.
Pemuda itu menjawab, “Domba-domba ini bukan kepunyaanku, aku tak berani
mengizinkan engkau sebelum majikanku mengizinkannya.”

Pemuda mengatakan, “Kalau kau mau, tunggulah di sini sebentar. Kucarikan telaga dan
kuambilkan air untukmu, saudaraku.” Kemudian, pergilah pemuda tersebut mencarikan
air untuk sang musafir. Setelah dapat, diberikannya air itu kepada si musafir.
“Alhamdulillah, segar sekali rasanya,” kata sang musafir. “Terima kasih wahai anak
muda,” lanjut musafir itu.
Kemudian, mereka sejenak beristirahat sambil berbagi kisah. Siang semakin terik.
“Mengapa kau tadi tidak ikut minum,” tanya musafir kepada pemuda tadi. “Maaf, saya
sedang berpuasa,” jawab si pemuda. Musafir itu tercengang mendengar pengakuan
pemuda tersebut. “Matahari semakin tinggi, sedangkan engkau berpuasa?” tanya musafir
itu penuh tanya. Pemuda itu menjawab, “Aku berharap kelak mudah-mudahan Allah
menaungi diriku pada saat hari kiamat nanti. Karena itu, aku berpuasa.”

Rasa kagum dan penasaran membuat si musafir ingin mengetes keimanan sang pemuda
penggembala tersebut. Lalu, musafir itu berkata, “Hai anak muda, bolehkah aku membeli
seekor saja dombamu. Aku lapar, tolonglah aku.”

“Maaf tuan, aku tidak berani sebelum mendapat izin dari majikanku,” kata pemuda itu.
“Ayolah anak muda. Domba yang kau gembalakan sangat banyak. Tentulah tuanmu tidak
akan mengetahui meski kau jual seekor saja. Perutku sangat lapar, tolonglah aku,” rayu
musafir tersebut.

“Aku sungguh ingin menolongmu. Kalau saja aku memiliki makanan, tentu akan
kuberikan untukmu, tuan. Tapi, tolong jangan paksa aku untuk melakukan hal yang tak
mungkin aku lakukan tuan,” ucap pemuda tersebut.

“Tidak akan ada yang tahu hai anak muda. Kuberikan seribu dirham untukmu untuk
seekor domba saja. Ayolah. Tidakkah kau kasihan kepadaku?” kata musafir itu yakin
bahwa pemuda tersebut akan goyah dengan suap seribu dirham.
Musafir itu terus memaksa si pemuda untuk menjual seekor dombanya. Bahkan, musafir
itu tambah gusar dan marah.

Akhirnya, pemuda itu berkata, “Majikanku bisa saja tidak tahu jikalau aku menjual
seekor dombanya. Sebab, jumlahnya sangat banyak. Dan mungkin saja, majikanku tidak
akan menanyakan domba-dombanya. Dia tidak akan rugi meski aku menjual seekor di
antara domba kepunyaanya. Tapi, kalau aku berbuat begitu, lalu di mana Allah? Di mana
Allah? Di mana Allah? Sungguh, aku tak mau di dalam dagingku tumbuh duri neraka
karena uang yang tidak halal bagiku.”

Pemuda itu menangis karena takut tergoda berbuat sesuatu yang dimurkai Allah. Dia
menangis karena kecintaanya kepada Allah.
Musafir tersebut tertegun. “Allahu akbar!!” musafir itu ikut menangis.
“Katakan padaku wahai anak muda, di mana majikanmu tinggal. Aku ingin membeli
seekor dombanya,” kata musafir tersebut.

Setelah mendapat jawaban tentang tempat tinggal majikan pemuda tadi, musafir itu
memberikan uang seribu dirham tadi kepada si pemuda. “Terimalah uang ini untukmu,
anakku. Ini uang halal. Kau pantas mendapatkan lebih daripada ini. Hatimu begitu
mulia.” Sang musafir yang tak lain adalah Khalifah Umar bin Khattab bergegas menuju ke
rumah majikan sang pemuda tadi. Lalu, ditebuslah pemuda itu dengan
memerdekakannya dari status hamba sahaya.

Dalam lanjutan perjalanannya, Umar masih takjub dengan kisah yang baru dia alami.
Di mana Allah? Inilah kalimat yang menggetarkan hati Umar. Rasa takut kepada Allah
tidak menggoyahkan iman seorang pemuda tadi meski dirayu dengan materi. Duniawi
tidak mampu menyilaukan hati pemuda itu karena keteguhan iman yang hakiki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar