Pada hari itu, Fani dinasehati ibunya, karena sangat
emosional, Fani pergi meninggalkan rumah, mengikuti hati yang emosi, tak terasa
langkah kakinya telah jauh meninggalkan rumah kampung halamannya, padahal ia
tak membawa apa pun.
Entah ini telah sampai daerah mana ia tidak tau. Yang
jelas, telah jauh dari tempat tinggalnya. Haus—dahaga mulai terasa, lapar mulai
menggelitik perutnya yang buncit. Namun ia tetap melangkahkan kakinya satu
langkah demi satu langkah walaupun terasa beratnya, perjalanan mulai membosankan
dan melelahkan, berhentilah di suatu jalan, ia baru menyadari bahwa ia sama
sekali tidak membawa bekal apapun, apalagi membawa uang. Kelelahan mulai
terasa, ingin rasanya istirahat walau sejenak. Akhirnya ia berhenti sejenak di
dekat rumah makan, ia mencium harumnya aroma masakan. Ia ingin sekali memesan
sepiring nasi, tetapi ia tidak mempunyai uang. Ia tidak mungkin akan
meminta-minta, mulutnya yang mungil tak kuasa untuk mengatakan ”minta sepiring
nasi”, tak mungkin itu ia lakukan.
Pemilik Rumah Makan melihat Fani berdiri cukup lama di
depan etalasenya, lalau bertanya, “Nona, apakah kau ingin sepiring nasi?”
“Tetapi, aku tidak membawa uang,” jawab Fani dengan malu-malu.
“Tidak apa-apa, aku akan memberimu sepiring nasi,”
jawab pemilik Rumah Makan. “Silahkan duduk, aku akan menghidangkannya untukmu.”
Tidak lama kemudian, pemilik Rumah Makan itu
mengantarkan sepiring nasi dengan lauk pauknya. Fani segera makan dengan
nikmatnya dan kemudian air matanya mulai berlinang. “Ada apa Nona?” tanya pemilik Rumah
Ma-kan.
“Tidak apa-apa. Aku hanya terharu,” jawab Fani sambil
mengeringkan air matanya.
“Bahkan, seorang yang baru kukenal pun memberiku
sepiring nasi! Tapi,…. Ibuku sendiri, setelah bertengkar denganku, mengusirku
dari rumah dan mengatakan kepadaku agar jangan kembali lagi ke rumah.
Bapak seorang yang baru kukenal, tetapi begitu peduli
denganku diban-dingkan dengan ibu kandungku sendiri,” katanya kepada si pemilik
Rumah Makan.
Pemilik Rumah Makan itu setelah mendengar perkataan
Fani, menarik napas panjang, dan berkata, “Nona, mengapa kau berpikir seperti
itu?.
Renungkanlah hal ini, aku hanya memberimu sepiring
nasi dan kau begitu terharu. Ibumu telah memasak makanan untukmu
saat kau masih kecil sampai saat ini, mengapa kau tidak berterima kasih
kepadanya? Dan kau malah bertengkar dengannya.”
Fani terhenyak mendengar hal tersebut. “Mengapa aku
tidak berpikir tentang hal tersebut? Untuk sepiring nasi dari orang yang baru
kukenal aku begitu berterima kasih, tetapi kepada ibuku yang telah memasak
makanan untukku selama bertahun-tahun, aku bahkan tidak memperlihakan
kepe-dulianku kepadanya. Dan hanya karena persoalan sepele, aku bertengkar
dengannya.”
Fani menghabiskan nasinya dengan cepat. Lalu ia
menguatkan dirinya untuk segera pulang ke rumahnya. Sambil berjalan ke rumah, ia
memikirkan kata-kata yang harus diucapkannya kepada ibunya. Akhirnya, ia
memutuskan untuk mengatakan, “Ibu,maafkan aku, aku tahu bahwa aku bersalah.”
Begitu sampai di depan pintu, ia melihat ibunya dengan
wajah letih dan cemas, karena telah mencarinya ke semua tempat. Ketika ibunya
melihat Fani, kalimat pertama yang keluar dari mulut ibunya, “Fani, cepat
masuk, ibu telah menyiapkan makan malam untukmu dan makanan itu akan menjadi
dingin jika kau tidak segera mamakannya.”
Fani sangat terharu melihat kasih ibunya yang begitu
besar kepadanya, ia tidak dapat menahan air matanya dan ia menangis di hadapan
ibunya.
Sekali waktu, mungkin kita akan sangat berterima kasih
kepada orang lain di sekitar kita untuk suatu pertolongan kecil yang diberikannya
kepada kita. Tetapi, kepada orang yang sangat dekat dengan kita, khususnya
orang tua kita, pernahkah kita berpikir untuk berterima kasih kepada mereka
yang telah merawat, membesarkan, mendidik dan melimpahkan kasih sayangnya
kepada kita???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar