Selasa, 16 April 2013
Saling Mencintai
Di jagat raya ini terdapat sebuah planet biru berkilauan indah. Itulah Bumi, tempat kita semua berpijak dan bernaung. Tangan-tangan Sang Maha Pencipta telah membentuk planet ini begitu cantik; tertimbang seimbang di gugusan bintang-bintang; dan terukur tepat di gerak derap sang waktu. Kehidupan tumbuhan dan gugur silih semenjak lima puluh milyar tahun kelahiran matahari; sebuah evolusi yang panjang, rapi dan berhati-hati.
Planet elok dan jagat raya yang angung; semua itu hanya demi kehidupan manusia, maha karya yang menyimpan cahaya-Nya, yang diturunkan dua juta tahun lalu di Bumi ini. Sedangkan kini matahari masih menyisakan lima milyar tahun ke depan sebelum mendidihkan air di penjuru galaksi. Perjalanan manakah yang kau tempuh, wahai manusia?
Kita dapat melakukan perjalan akbar ke angkasa menembus gelapnya alam raya; menyentuh tepiannya yang tak terbatas. Atau, perjalan agung kedalam diri sendiri menerobos kelamnya sang Aku; menyentuh cahaya gemilang yang ditiupkan Sang Maha Pencipta.
Perjalanan manapun yang kita pilih, kita semestinya disadarkan bahwa tiada segala sesuatu ini tercipta tanpa rahmat dan cinta kasih yang melimpah-ruah. Karena itu, sesama kaki yang berpijak di Bumi, sesama kepala menjulang di langit, tiada benang pengikat yang pantas ditambatkan selain hidup saling memberi, saling menerima dan saling mencintai.
Saya Tidak Tahu
Menjadi cerdas, tidak berarti mengetahui segala jawaban. Terkadang, jawaban paling cerdas yang anda dapat katakan adalah "Saya tidak tahu". Diperlukan rasa percaya diri dan kecerdasan extra untuk mengakui ketidaktahuan anda. Dan saat anda melakukannya, anda sedang dalam proses mempelajari jawaban sesungguhnya. Seringkali, karena alasan kebanggaan dan mencegah rasa tidak aman, kita mengatakan tahu, padahal kita tidak tahu. Lewat cara ini, kita telah menyia-nyiakan kesempatan untuk belajar lebih lanjut.
Percayalah, tidak ada salahnya anda tidak mengetahui suatu hal. Bagian penting dari kebijaksanaan adalah mengetahui batas pengetahuan anda. Mengetahui apa yang anda tahu dan apa yang anda tidak tahu. Orang yang benar-benar cerdas adalah orang yang tahu dan mengerti, bahwa tak semua pertanyaan dapat ia jawab. Orang yang benar-benar cerdas, adalah orang yang mau bertanya, mau belajar, mau bertumbuh. Gunakan pengetahuan yang anda miliki, dan miliki pengetahuan yang anda perlukan. Itu adalah jalan terbaik yang dapat anda tempuh
Percayalah, tidak ada salahnya anda tidak mengetahui suatu hal. Bagian penting dari kebijaksanaan adalah mengetahui batas pengetahuan anda. Mengetahui apa yang anda tahu dan apa yang anda tidak tahu. Orang yang benar-benar cerdas adalah orang yang tahu dan mengerti, bahwa tak semua pertanyaan dapat ia jawab. Orang yang benar-benar cerdas, adalah orang yang mau bertanya, mau belajar, mau bertumbuh. Gunakan pengetahuan yang anda miliki, dan miliki pengetahuan yang anda perlukan. Itu adalah jalan terbaik yang dapat anda tempuh
SEBUTIR PASIR
Penakluk pertama Mount Everest, puncak tertinggi dunia di Pegunungan Himalaya, Sir Edmund Hillary, pernah ditanya wartawan apa yang paling ditakutinya dalam menjelajah alam. Dia lalu mengaku tidak takut pada binatang buas, jurang yang curam, bongkahan es raksasa, atau padang pasir yang luas dan gersang sekali pun! Lantas apa? "Sebutir pasir yang terselip di sela-sela jari kaki," kata Hillary. Wartawan heran, tetapi sang penjelajah melanjutkan kata-katanya, "Sebutir pasir yang masuk di sela-sela jari kaki sering sekali menjadi awal malapetaka. Ia bisa masuk ke kulit kaki atau menyelusup lewat kuku. Lama-lama jari kaki terkena infeksi, lalu membusuk. Tanpa sadar, kaki pun tak bisa digerakkan. Itulah malapetaka bagi seorang penjelajah sebab dia harus ditandu." Harimau, buaya, dan beruang, meski buas, adalah binatang yang secara naluriah takut menghadapi manusia. Sedang menghadapi jurang yang dalam dan ganasnya padang pasir, seorang penjelajah sudah punya persiapan memadai. Tetapi, jika menghadapi sebutir pasir
yang akan masuk ke jari kaki, seorang penjelajah tak mempersiapkannya. Dia cenderung mengabaikannya.
Apa yang dinyatakan Hillary, kalau kita renungkan, sebetulnya sama dengan orang yang mengabaikan dosa-dosa kecil. Orang yang melakukan dosa kecil, misalnya mencoba-coba mencicipi minuman keras atau membicarakan keburukan orang lain, sering menganggap hal itu adalah dosa yang kecil. Karena itu, banyak orang yang kebablasan melakukan dosa-dosa kecil sehingga lambat laun jadi kebiasaan. Kalau sudah jadi kebiasaan, dosa kecil itu pun akan berubah jadi dosa besar yang sangat membahayakan dirinya dan masyarakat.
Melihat kemungkinan potensi kerusakan besar yang tercipta dari dosa-dosa kecil itulah, Nabi Muhammad saw mewanti-wanti agar ummatnya tidak mengabaikan dosa-dosa kecil seraya tidak melupakan amal baik kendati kecil juga. Dalam kisah disebutkan, seorang pelacur masuk surga hanya karena memberi minum anjing yang kehausan. Perbuatan yang cenderung dinilai sangat kecil itu ternyata di mata Allah punya nilai sangat besar karena faktor keikhlasannya. Bukankah semua roh yang ada di seluruh jagad ini, termasuk roh anjing tersebut, hakikatnya berasal dari Tuhan Yang Maha Pencipta juga? Itulah nilai setetes air penyejuk yang diberikan sang pelacur pada anjing yang kehausan
SELALU ADA SISI BAIK
Jadilah pihak yang selalu optimis dan berusaha untuk melihat kesempatan di setiap kegagalan. Jangan bersikap pesimis yang hanya melihat kegagalan di setiap kesempatan. Orang optimis melihat donat, sedangkan orang pesimis melihat lubangnya.
Anda dapat mengembangkan keberhasilan dari setiap kegagalan. Keputusasaan dan kegagalan adalah dua batu loncatan menuju keberhasilan. tidak ada elemen lain yang begitu berharga bagi anda jika saja anda mau mempelajari dan mengusahakannya bekerja untuk anda. Pandanglah setiap masalah sebagai kesempatan. Hanya bila cuaca cukup gelaplah anda bisa melihat bintang
Senin, 15 April 2013
Sedikit Demi Sedikit Lama-Lama Menjadi Bukit
Pepatah ini sederhana saja, bisa kita maknai dengan jika kita
mengumpulkan se sen demi se sen lama kelamaan akan menjadi pundi, namun pepatah
ini bukan saja berbicara tentang hidup hemat, atau ketekunan kita untuk
menabung.
Pepatah ini meyiratkan kita tentang sesuatu yang lebih berharga
dari sekedar sekantung keping uang, yaitu bila kita mampu mengumpulkan kebaikan
dalam setiap tindakan-tindakan kecil kita, maka kita akan dapati kebesaran
dalam jiwa kita.
Bagaimana tindakan-tindakankecil itu mencerminkan kebesaran jiwa
sang pemiliknya ? yaitu bila disertai dengan secercah kasih sayang di dalamnya.
Ucapan terima kasih, sesungging senyum, sapaan ramah, atau pelukan bersahabat,
adalah tindakan yang mungkin sepela saja. Namun dalam liputan kasih sayang, ia
jauh lebih tinggi dari pada bukit tabungan kita.
Sedikit Demi Sedikit Lama-Lama Menjadi Bukit
Pepatah ini sederhana saja, bisa kita maknai dengan jika kita
mengumpulkan se sen demi se sen lama kelamaan akan menjadi pundi, namun pepatah
ini bukan saja berbicara tentang hidup hemat, atau ketekunan kita untuk
menabung.
Pepatah ini meyiratkan kita tentang sesuatu yang lebih berharga
dari sekedar sekantung keping uang, yaitu bila kita mampu mengumpulkan kebaikan
dalam setiap tindakan-tindakan kecil kita, maka kita akan dapati kebesaran
dalam jiwa kita.
Bagaimana tindakan-tindakankecil itu mencerminkan kebesaran jiwa
sang pemiliknya ? yaitu bila disertai dengan secercah kasih sayang di dalamnya.
Ucapan terima kasih, sesungging senyum, sapaan ramah, atau pelukan bersahabat,
adalah tindakan yang mungkin sepela saja. Namun dalam liputan kasih sayang, ia
jauh lebih tinggi dari pada bukit tabungan kita.
Tindakan Kita Sebatas Kita Memandang Dunia
Bila anda memandang diri anda kecil, dunia
akan tampak sempit dan tindakan anda pun jadi kerdil. Namun bila anda memandang
diri anda besar, dunia terlihat luas, anda pun melakukan hal-hal penting dan
berharga.
Tindakan anda adalah cermin bagaimana anda
melihat dunia. Sementara dunia anda tak lebih luas dari pikiran anda tentang diri anda
sendiri. Itulah mengapa kita di ajarkan untuk berprasangka positif pada diri
sendiri, agar kita bisa melihat dunia lebih indah, dan bertindak selaras dengan
kebaikan-kebaikan yang ada dalam pikiran kita. Padahal dunia tak butuh
penilaian apa-apa dari kita. Ia hanya memantulkan apa yang ingin kita lihat. Ia
menggemakan apa yang ingin kita dengar. Bila kita takut menghadapi dunia, sesungguhnya
kita takut menghadapi diri kita sendiri.
Maka, bukan soal apakah kita berprasangka
positif atau negatif terhadap diri sendiri. Melampaui di atas itu, kita perlu
jujur melihat diri sendiri apa adanya. Dan, dunia pun menampakkan realita yang
selama ini tersembunyi di balik penilaian-penilaian kita
Sedekah Yang Salah Alamat
Suatu ketika, Rasulullah Saw., seperti yang kerap beliau lakukan, berbincang-bincang dengan para sahabat di serambi Masjid Nabawi, Madinah. Selepas berbagi sapa dengan mereka, beliau berkata kepada mereka, "Suatu saat ada seorang pria berkata kepada dirinya sendiri, 'Malam ini aku akan bersedekah!' Dan, benar, malam itu juga dia memberikan sedekah kepada seorang perempuan yang tak dikenalnya. Sedekah Yang Salah Alamaernyata,mperempuan itu seorang pezina. Sehingga, kejadian itu menjadi perbincangan khalayak ramai.
"Akhirnya, kabar tersebut sampai juga kepada pria itu. Mendengar kabar yang demikian, pria itu bergumam, 'Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu.Ternyata, sedekahku jatuh ke tangan seorang pezina. Karena itu, aku akan bersedekah lagi!' "Maka, pria itu kemudian mencari seseorang yang menurutnya layak menerima sedekah. Ternyata, penerima sedekah itu, tanpa diketahuinya, adalah orang kaya. Sehingga, kejadian itu lagi-
lagi menjadi perbincangan khalayak ramai, lalu sampai juga kepada pria yang bersedekah itu. "Mendengar kabar yang demikian, pria itu pun bergumam,'Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu. Ternyata, sedekahku itu jatuh ke tangan orang kaya. Karena itu, aku akan bersedekah lagi!' Maka, dia kemudian, dengan cermat, mencari seseorang yang menurutnya layak menerima sedekah.
Ternyata, penerima sedekah yang ketiga, tanpa diketahuinya, adalah seorang pencuri. Tak lama berselang, kejadian itu menjadi perbincangan khalayak ramai, dan kabar itu sampai kepada pria yang bersedekah itu. Mendengar kabar demikian, pria itu pun mengeluh, 'Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu! Ya Allah, sedekahku ternyata jatuh ke tangan orang-orang yang tak kuduga: pezina, orang kaya, dan pencuri!' "Pria itu
kemudian didatangi (malaikat utusan Allah) yang berkata, "Sedekahmu telah diterima Allah. Bisa jadi pezina itu akan berhenti berzina karena menerima sedekah itu. Bisa jadi pula orang kaya itu mendapat pelajaran karena sedekah itu, lalu dia menyedekahkan sebagian rezeki yang dikaruniakan Allah kepadanya. Dan, bisa jadi pencuri itu berhenti mencuri selepas menerima sedekah itu."
(Diceritakan kembali dari sebuah hadis yang dituturkan oleh Muslim dan Abu Hurairah dalam Teladan indah Rasullulah dalam ibadah, Ahmad Rofi 'Usmani)
http://tausyah.wordpress.com/
"Akhirnya, kabar tersebut sampai juga kepada pria itu. Mendengar kabar yang demikian, pria itu bergumam, 'Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu.Ternyata, sedekahku jatuh ke tangan seorang pezina. Karena itu, aku akan bersedekah lagi!' "Maka, pria itu kemudian mencari seseorang yang menurutnya layak menerima sedekah. Ternyata, penerima sedekah itu, tanpa diketahuinya, adalah orang kaya. Sehingga, kejadian itu lagi-
lagi menjadi perbincangan khalayak ramai, lalu sampai juga kepada pria yang bersedekah itu. "Mendengar kabar yang demikian, pria itu pun bergumam,'Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu. Ternyata, sedekahku itu jatuh ke tangan orang kaya. Karena itu, aku akan bersedekah lagi!' Maka, dia kemudian, dengan cermat, mencari seseorang yang menurutnya layak menerima sedekah.
Ternyata, penerima sedekah yang ketiga, tanpa diketahuinya, adalah seorang pencuri. Tak lama berselang, kejadian itu menjadi perbincangan khalayak ramai, dan kabar itu sampai kepada pria yang bersedekah itu. Mendengar kabar demikian, pria itu pun mengeluh, 'Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu! Ya Allah, sedekahku ternyata jatuh ke tangan orang-orang yang tak kuduga: pezina, orang kaya, dan pencuri!' "Pria itu
kemudian didatangi (malaikat utusan Allah) yang berkata, "Sedekahmu telah diterima Allah. Bisa jadi pezina itu akan berhenti berzina karena menerima sedekah itu. Bisa jadi pula orang kaya itu mendapat pelajaran karena sedekah itu, lalu dia menyedekahkan sebagian rezeki yang dikaruniakan Allah kepadanya. Dan, bisa jadi pencuri itu berhenti mencuri selepas menerima sedekah itu."
(Diceritakan kembali dari sebuah hadis yang dituturkan oleh Muslim dan Abu Hurairah dalam Teladan indah Rasullulah dalam ibadah, Ahmad Rofi 'Usmani)
http://tausyah.wordpress.com/
Sedekah Yang Salah Alamat
Suatu ketika, Rasulullah Saw., seperti yang kerap beliau lakukan, berbincang-bincang dengan para sahabat di serambi Masjid Nabawi, Madinah. Selepas berbagi sapa dengan mereka, beliau berkata kepada mereka, "Suatu saat ada seorang pria berkata kepada dirinya sendiri, 'Malam ini aku akan bersedekah!' Dan, benar, malam itu juga dia memberikan sedekah kepada seorang perempuan yang tak dikenalnya. Ternyata,
perempuan itu seorang pezina. Sehingga, kejadian itu menjadi perbincangan khalayak ramai.
"Akhirnya, kabar tersebut sampai juga kepada pria itu. Mendengar kabar yang demikian, pria itu bergumam, 'Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu.Ternyata, sedekahku jatuh ke tangan seorang pezina. Karena itu, aku akan bersedekah lagi!' "Maka, pria itu kemudian mencari seseorang yang menurutnya layak menerima sedekah. Ternyata, penerima sedekah itu, tanpa diketahuinya, adalah orang kaya. Sehingga, kejadian itu lagi-
lagi menjadi perbincangan khalayak ramai, lalu sampai juga kepada pria yang bersedekah itu. "Mendengar kabar yang demikian, pria itu pun bergumam,'Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu. Ternyata, sedekahku itu jatuh ke tangan orang kaya. Karena itu, aku akan bersedekah lagi!' Maka, dia kemudian, dengan cermat, mencari seseorang yang menurutnya layak menerima sedekah.
Ternyata, penerima sedekah yang ketiga, tanpa diketahuinya, adalah seorang pencuri. Tak lama berselang, kejadian itu menjadi perbincangan khalayak ramai, dan kabar itu sampai kepada pria yang bersedekah itu. Mendengar kabar demikian, pria itu pun mengeluh, 'Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu! Ya Allah, sedekahku ternyata jatuh ke tangan orang-orang yang tak kuduga: pezina, orang kaya, dan pencuri!' "Pria itu
kemudian didatangi (malaikat utusan Allah) yang berkata, "Sedekahmu telah diterima Allah. Bisa jadi pezina itu akan berhenti berzina karena menerima sedekah itu. Bisa jadi pula orang kaya itu mendapat pelajaran karena sedekah itu, lalu dia menyedekahkan sebagian rezeki yang dikaruniakan Allah kepadanya. Dan, bisa jadi pencuri itu berhenti mencuri selepas menerima sedekah itu."
(Diceritakan kembali dari sebuah hadis yang dituturkan oleh Muslim dan Abu Hurairah dalam Teladan indah Rasullulah dalam ibadah, Ahmad Rofi 'Usmani)
http://tausyah.wordpress.com/
Sedekah Yang Salah Alamat
Suatu ketika, Rasulullah Saw., seperti yang kerap beliau lakukan, berbincang-bincang dengan para sahabat di serambi Masjid Nabawi, Madinah. Selepas berbagi sapa dengan mereka, beliau berkata kepada mereka, "Suatu saat ada seorang pria berkata kepada dirinya sendiri, 'Malam ini aku akan bersedekah!' Dan, benar, malam itu juga dia memberikan sedekah kepada seorang perempuan yang tak dikenalnya. Ternyata,
perempuan itu seorang pezina. Sehingga, kejadian itu menjadi perbincangan khalayak ramai.
"Akhirnya, kabar tersebut sampai juga kepada pria itu. Mendengar kabar yang demikian, pria itu bergumam, 'Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu.Ternyata, sedekahku jatuh ke tangan seorang pezina. Karena itu, aku akan bersedekah lagi!' "Maka, pria itu kemudian mencari seseorang yang menurutnya layak menerima sedekah. Ternyata, penerima sedekah itu, tanpa diketahuinya, adalah orang kaya. Sehingga, kejadian itu lagi-
lagi menjadi perbincangan khalayak ramai, lalu sampai juga kepada pria yang bersedekah itu. "Mendengar kabar yang demikian, pria itu pun bergumam,'Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu. Ternyata, sedekahku itu jatuh ke tangan orang kaya. Karena itu, aku akan bersedekah lagi!' Maka, dia kemudian, dengan cermat, mencari seseorang yang menurutnya layak menerima sedekah.
Ternyata, penerima sedekah yang ketiga, tanpa diketahuinya, adalah seorang pencuri. Tak lama berselang, kejadian itu menjadi perbincangan khalayak ramai, dan kabar itu
sampai kepada pria yang bersedekah itu. Mendengar kabar demikian, pria itu pun
mengeluh, 'Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu! Ya Allah, sedekahku ternyata jatuh ke
tangan orang-orang yang tak kuduga: pezina, orang kaya, dan pencuri!' "Pria itu
kemudian didatangi (malaikat utusan Allah) yang berkata, "Sedekahmu telah
diterima Allah. Bisa jadi pezina itu akan berhenti berzina karena menerima sedekah itu.
Bisa jadi pula orang kaya itu mendapat pelajaran karena sedekah itu, lalu dia
menyedekahkan sebagian rezeki yang
dikaruniakan Allah kepadanya. Dan, bisa jadi pencuri itu berhenti mencuri selepas
menerima sedekah itu."
(Diceritakan kembali dari sebuah hadis yang dituturkan oleh Muslim dan Abu Hurairah
dalam Teladan indah Rasullulah dalam ibadah, Ahmad Rofi 'Usmani)
http://tausyah.wordpress.com/
Sedekah Yang Salah Alamat
Suatu ketika, Rasulullah Saw., seperti yang kerap beliau lakukan, berbincang-bincang dengan para sahabat di serambi Masjid Nabawi, Madinah. Selepas berbagi sapa dengan
mereka, beliau berkata kepada mereka, "Suatu saat ada seorang pria berkata kepada
dirinya sendiri, 'Malam ini aku akan bersedekah!' Dan, benar, malam itu juga dia
memberikan sedekah kepada seorang perempuan yang tak dikenalnya. Ternyata,
perempuan itu seorang pezina. Sehingga, kejadian itu menjadi perbincangan khalayak
ramai.
"Akhirnya, kabar tersebut sampai juga kepada pria itu. Mendengar kabar yang demikian,
pria itu bergumam, 'Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu.Ternyata, sedekahku jatuh ke
tangan seorang pezina. Karena itu, aku akan bersedekah lagi!' "Maka, pria itu kemudian
mencari seseorang yang menurutnya layak menerima sedekah. Ternyata, penerima
sedekah itu, tanpa diketahuinya, adalah orang kaya. Sehingga, kejadian itu lagi-
lagi menjadi perbincangan khalayak ramai, lalu sampai juga kepada pria yang bersedekah
itu.
"Mendengar kabar yang demikian, pria itu pun bergumam,'Ya Allah! Segala puji hanya
bagi-Mu. Ternyata, sedekahku itu jatuh ke tangan orang kaya. Karena itu, aku akan
bersedekah lagi!' Maka, dia kemudian, dengan cermat, mencari seseorang yang
menurutnya layak menerima sedekah.
Ternyata, penerima sedekah yang ketiga, tanpa diketahuinya, adalah seorang pencuri.
Tak lama berselang, kejadian itu menjadi perbincangan khalayak ramai, dan kabar itu
sampai kepada pria yang bersedekah itu. Mendengar kabar demikian, pria itu pun
mengeluh, 'Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu! Ya Allah, sedekahku ternyata jatuh ke
tangan orang-orang yang tak kuduga: pezina, orang kaya, dan pencuri!' "Pria itu
kemudian didatangi (malaikat utusan Allah) yang berkata, "Sedekahmu telah
diterima Allah. Bisa jadi pezina itu akan berhenti berzina karena menerima sedekah itu.
Bisa jadi pula orang kaya itu mendapat pelajaran karena sedekah itu, lalu dia
menyedekahkan sebagian rezeki yang
dikaruniakan Allah kepadanya. Dan, bisa jadi pencuri itu berhenti mencuri selepas
menerima sedekah itu."
(Diceritakan kembali dari sebuah hadis yang dituturkan oleh Muslim dan Abu Hurairah
dalam Teladan indah Rasullulah dalam ibadah, Ahmad Rofi 'Usmani)
http://tausyah.wordpress.com/
Sedekah Yang Salah Alamat
t
Posted: 7 Juni 2010 in Tausiyah
Suatu ketika, Rasulullah Saw., seperti yang kerap beliau lakukan, berbincang-bincang
dengan para sahabat di serambi Masjid Nabawi, Madinah. Selepas berbagi sapa dengan
mereka, beliau berkata kepada mereka, "Suatu saat ada seorang pria berkata kepada
dirinya sendiri, 'Malam ini aku akan bersedekah!' Dan, benar, malam itu juga dia
memberikan sedekah kepada seorang perempuan yang tak dikenalnya. Ternyata,
perempuan itu seorang pezina. Sehingga, kejadian itu menjadi perbincangan khalayak
ramai.
"Akhirnya, kabar tersebut sampai juga kepada pria itu. Mendengar kabar yang demikian,
pria itu bergumam, 'Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu.Ternyata, sedekahku jatuh ke
tangan seorang pezina. Karena itu, aku akan bersedekah lagi!' "Maka, pria itu kemudian
mencari seseorang yang menurutnya layak menerima sedekah. Ternyata, penerima
sedekah itu, tanpa diketahuinya, adalah orang kaya. Sehingga, kejadian itu lagi-
lagi menjadi perbincangan khalayak ramai, lalu sampai juga kepada pria yang bersedekah
itu.
"Mendengar kabar yang demikian, pria itu pun bergumam,'Ya Allah! Segala puji hanya
bagi-Mu. Ternyata, sedekahku itu jatuh ke tangan orang kaya. Karena itu, aku akan
bersedekah lagi!' Maka, dia kemudian, dengan cermat, mencari seseorang yang
menurutnya layak menerima sedekah.
Ternyata, penerima sedekah yang ketiga, tanpa diketahuinya, adalah seorang pencuri.
Tak lama berselang, kejadian itu menjadi perbincangan khalayak ramai, dan kabar itu
sampai kepada pria yang bersedekah itu. Mendengar kabar demikian, pria itu pun
mengeluh, 'Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu! Ya Allah, sedekahku ternyata jatuh ke
tangan orang-orang yang tak kuduga: pezina, orang kaya, dan pencuri!' "Pria itu
kemudian didatangi (malaikat utusan Allah) yang berkata, "Sedekahmu telah
diterima Allah. Bisa jadi pezina itu akan berhenti berzina karena menerima sedekah itu.
Bisa jadi pula orang kaya itu mendapat pelajaran karena sedekah itu, lalu dia
menyedekahkan sebagian rezeki yang
dikaruniakan Allah kepadanya. Dan, bisa jadi pencuri itu berhenti mencuri selepas
menerima sedekah itu."
(Diceritakan kembali dari sebuah hadis yang dituturkan oleh Muslim dan Abu Hurairah
dalam Teladan indah Rasullulah dalam ibadah, Ahmad Rofi 'Usmani)
http://tausyah.wordpress.com/
Sedekah Yang Salah Alama
t
Posted: 7 Juni 2010 in Tausiyah
Suatu ketika, Rasulullah Saw., seperti yang kerap beliau lakukan, berbincang-bincang
dengan para sahabat di serambi Masjid Nabawi, Madinah. Selepas berbagi sapa dengan
mereka, beliau berkata kepada mereka, "Suatu saat ada seorang pria berkata kepada
dirinya sendiri, 'Malam ini aku akan bersedekah!' Dan, benar, malam itu juga dia
memberikan sedekah kepada seorang perempuan yang tak dikenalnya. Ternyata,
perempuan itu seorang pezina. Sehingga, kejadian itu menjadi perbincangan khalayak
ramai.
"Akhirnya, kabar tersebut sampai juga kepada pria itu. Mendengar kabar yang demikian,
pria itu bergumam, 'Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu.Ternyata, sedekahku jatuh ke
tangan seorang pezina. Karena itu, aku akan bersedekah lagi!' "Maka, pria itu kemudian
mencari seseorang yang menurutnya layak menerima sedekah. Ternyata, penerima
sedekah itu, tanpa diketahuinya, adalah orang kaya. Sehingga, kejadian itu lagi-
lagi menjadi perbincangan khalayak ramai, lalu sampai juga kepada pria yang bersedekah
itu.
"Mendengar kabar yang demikian, pria itu pun bergumam,'Ya Allah! Segala puji hanya
bagi-Mu. Ternyata, sedekahku itu jatuh ke tangan orang kaya. Karena itu, aku akan
bersedekah lagi!' Maka, dia kemudian, dengan cermat, mencari seseorang yang
menurutnya layak menerima sedekah.
Ternyata, penerima sedekah yang ketiga, tanpa diketahuinya, adalah seorang pencuri.
Tak lama berselang, kejadian itu menjadi perbincangan khalayak ramai, dan kabar itu
sampai kepada pria yang bersedekah itu. Mendengar kabar demikian, pria itu pun
mengeluh, 'Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu! Ya Allah, sedekahku ternyata jatuh ke
tangan orang-orang yang tak kuduga: pezina, orang kaya, dan pencuri!' "Pria itu
kemudian didatangi (malaikat utusan Allah) yang berkata, "Sedekahmu telah
diterima Allah. Bisa jadi pezina itu akan berhenti berzina karena menerima sedekah itu.
Bisa jadi pula orang kaya itu mendapat pelajaran karena sedekah itu, lalu dia
menyedekahkan sebagian rezeki yang
dikaruniakan Allah kepadanya. Dan, bisa jadi pencuri itu berhenti mencuri selepas
menerima sedekah itu."
(Diceritakan kembali dari sebuah hadis yang dituturkan oleh Muslim dan Abu Hurairah
dalam Teladan indah Rasullulah dalam ibadah, Ahmad Rofi 'Usmani)
http://tausyah.wordpress.com/
Sedekah Yang Salah Alamat
Posted: 7 Juni 2010 in Tausiyah
Suatu ketika, Rasulullah Saw., seperti yang kerap beliau lakukan, berbincang-bincang
dengan para sahabat di serambi Masjid Nabawi, Madinah. Selepas berbagi sapa dengan
mereka, beliau berkata kepada mereka, "Suatu saat ada seorang pria berkata kepada
dirinya sendiri, 'Malam ini aku akan bersedekah!' Dan, benar, malam itu juga dia
memberikan sedekah kepada seorang perempuan yang tak dikenalnya. Ternyata,
perempuan itu seorang pezina. Sehingga, kejadian itu menjadi perbincangan khalayak
ramai.
"Akhirnya, kabar tersebut sampai juga kepada pria itu. Mendengar kabar yang demikian,
pria itu bergumam, 'Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu.Ternyata, sedekahku jatuh ke
tangan seorang pezina. Karena itu, aku akan bersedekah lagi!' "Maka, pria itu kemudian
mencari seseorang yang menurutnya layak menerima sedekah. Ternyata, penerima
sedekah itu, tanpa diketahuinya, adalah orang kaya. Sehingga, kejadian itu lagi-
lagi menjadi perbincangan khalayak ramai, lalu sampai juga kepada pria yang bersedekah
itu.
"Mendengar kabar yang demikian, pria itu pun bergumam,'Ya Allah! Segala puji hanya
bagi-Mu. Ternyata, sedekahku itu jatuh ke tangan orang kaya. Karena itu, aku akan
bersedekah lagi!' Maka, dia kemudian, dengan cermat, mencari seseorang yang
menurutnya layak menerima sedekah.
Ternyata, penerima sedekah yang ketiga, tanpa diketahuinya, adalah seorang pencuri.
Tak lama berselang, kejadian itu menjadi perbincangan khalayak ramai, dan kabar itu
sampai kepada pria yang bersedekah itu. Mendengar kabar demikian, pria itu pun
mengeluh, 'Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu! Ya Allah, sedekahku ternyata jatuh ke
tangan orang-orang yang tak kuduga: pezina, orang kaya, dan pencuri!' "Pria itu
kemudian didatangi (malaikat utusan Allah) yang berkata, "Sedekahmu telah
diterima Allah. Bisa jadi pezina itu akan berhenti berzina karena menerima sedekah itu.
Bisa jadi pula orang kaya itu mendapat pelajaran karena sedekah itu, lalu dia
menyedekahkan sebagian rezeki yang
dikaruniakan Allah kepadanya. Dan, bisa jadi pencuri itu berhenti mencuri selepas
menerima sedekah itu."
(Diceritakan kembali dari sebuah hadis yang dituturkan oleh Muslim dan Abu Hurairah
dalam Teladan indah Rasullulah dalam ibadah, Ahmad Rofi 'Usmani)
http://tausyah.wordpress.com/
Ya Karim
Kisah berikut patut dijadikan bahan renungan. Agar kita memiliki sifat tawadhu' dan sikap hidup yang selalu memberi perhatian kepada yang rendah dan yang di bawah. Biarpun kita memiliki kedudukan yang tinggi dan terhormat, semua itu tak berarti sedikit pun jika tak memiliki sifat perhatian kepada yang rendah dan yang di bawah. Nah, kalau begitu, jadilah kita seseorang yang memiliki jiwa seperti Rasulallah saw yang selalu tawadhu', sederhana, dan menghormati semua kelompok manusia tidak perduli apapun kedudukanya.
Diriwayatkan ketika Rasulallah saw sedang bertowaf, beliau mendengar seorang A'rabi (Arab Badui dari gunung) berkata dengan suara keras "Ya Kariim". Rasulallah saw pun mengikutinya dari belakang dan berkata "Ya Kariim". Kemudian A'rabi itu berjalan menuju ke arah pancuran Kab'ah lalu berkata lagi dengan suara lebih keras "Ya Kariiim". Rasulallah saw pun mengikutinya dari belakang, juga berkata "Ya Karim".
Berasa ada yang mengikutinya dari belakang, A'rabi tadi menengok ke arah suara, lalu berkata "Apa maksudmu mengikuti perkataanku? Apakah kau sengaja mengejekku karena aku seorang A'rabi, Arab Badui dari gunung? Demi Allah kalau bukan karena wajahmu yang bersinar dan parasmu yang indah maka aku akan adukan hal ini kepada kekasihku Muhammad, Rasulallah saw".
Rasulallah saw pun tersenyum lebar mendengar uraian A'rabi tadi, lalu berkata "Wahai saudaraku, apakah kau pernah melihat Rasulallah? A'rabi tadi berkata "Aku belum pernah melihatnya sama sekali". Rasulallah saw lalu berkata lagi "Apakah kamu beriman kepadanya?. "Demi Allah, aku beriman kepadanya walaupun aku belum pernah melihat wajahnya dan percaya dengan risalahnya walaupun aku belum pernah bertemumuka dengannnya", tegasnya. Lalu Rasulallah saw berkata "Ketahuilah, wahai saudaraku,
bahwa sesungguhnya aku adalah Nabimu di dunia dan pemberi syafa'at bagimu di Akhirat".
Begitu A'rabi tadi mengetahui bahwa beliau adalah Rasulallah saw, dengan sepontan ia menarik tangan beliau lalu menciumya berkali kali. Walaupun Rasulallah saw berusaha menarik tangan beliau, tapi A'rabi tadi tetap memegangnya dengan keras dan menciumnya. Lalu dengan penuh tawadhu' beliau menahan lagi tangannya sambil menariknya, seraya berkata "Perlahan-lahan wahai saudaraku, sesungguhnya aku diutus sebagai Nabi bukan sebagai raja, aku diutus sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, bukan perkasa dan penyombong"
Seketika itu juga malaikat Jibril as turun dari langit kepada Rasulallah saw lalu berkata "Allah mengucapkan salam kepadamu, dan mengkhususkan tahiyyatNya atasmu. Dia berfirman "Katakanlah kepada A'rabi janganlah merasa bangga dengan amal kebaikanya, sesungguhnya esok Kami akan menghisab amalnya yang kecil sebelum yang besar, bahkan
sampai yang sekecil kecilnya tidak akan diluputkan. Lalu Rasulallah saw menyampaikan pesan Allah kepada A'rabi tadi. A'rabi pun berkata "Apakah Allah akan menghisabku kelak ya Rasulallah???" Rasulallah saw berkata "Iya betul, dengan kehendakNya, Allah akan menghisabmu kelak". A'rabi tadi lalu berkata lagi "Jika Allah akan menghisabku esok, maka akupun akan menghisabNya kelak"
Rasulallah saw merasa heran mendengar jawaban A'rabi tadi, lalu berkata "Wahai saudaraku, bagaimana caranya kamu akan menghisab Allah kelak?" Dengan lantang dan penuh keyakinan A'rabi tadi berkata "Jika Allah akan menghisabku atas dosa dosa yang aku lakukan, maka aku akan menghisabNya atas ampunanNya yang maha luas. Jika Dia akan menghisabku dengan maksiat yang aku perbuat, maka aku akan menghisabNya atas maghfirahNya yang tidak terbatas. Jika Dia akan menghisabku atas kekikiranku maka aku akan menghisabNya atas kemurahanNya yang tampa batas".
Mendengar uraian A'rabi tadi Rasulallah saw menangis tersedu-sedu sehingga jenggot beliau basah dengan airmata. Tangisan Rasulallah saw didengar oleh malaikat Jibril as yang membuatnya turun lagi dari langit, lalu berkata kepada beliau "Wahai Rasulallah janganlah kamu menangis, sesungguhnya Arsy dan seisi-isinya bergetar mendengar tangisamu. Katakanlah kepada saudaramu A'rabi sesungguhnya Allah tidak akan menghisabnya dan ia tidak usah menghisabNya. Katakanlah bahwa ia akan menjadi temanmu nanti di surga".
Kisah di atas patut dijadikan bahan renungan. Agar kita memiliki sifat tawadhu' dan sikap hidup yang selalu memberi perhatian kepada yang rendah dan yang di bawah. Biarpun kita memiliki kedudukan yang tinggi dan terhormat, semua itu tak berarti sedikit pun jika tak memiliki sifat perhatian kepada yang rendah dan yang di bawah. Nah, kalau begitu, jadilah kita seseorang yang memiliki jiwa seperti Rasulallah saw yang selalu tawadhu', sederhana, dan menghormati semua kelompok manusia tidak perduli apapun
kedudukanya.Allahumma shalli a'la sayyidina Muhammad wa a'la alihi wa shahbihi wa sallim.
Wallahua'lam
Hasan Husen Assagaf
Sabtu, 13 April 2013
Cara Alam Menghibur Kita
Pernahkah kita mengalami ketika hujan deras mengguyur, kita lupa membawa payung. Lalu kita pun berbasah kuyup kedinginan. Namun, ketika kita siapkan jas hujan, justru panas dan terik datang membakar hari. Sebalkah anda?
Atau mungkin kita pernah terburu-buru mengejar waktu, tetapi perjalanan malah tersendat, seolah membiarkan kita terlambat. Namun, ketika kita ingin melaju dengan tenang, pengendara lain malah membunyikan klakson agar kita mempercepat langkah. Sebalkah anda?
Mengapa keadaan seringkali tidak bersahabat? Mereka seakan meledek, mengecoh, bahkan tertawa terbahak-bahak. Inikah yang disebut dengan “ketidakmujuran”?
Sadari saja, itu adalah cara alam menghibur kita. Itulah cara alam mengajak kita tersenyum, menertawakan diri kita sendiri, dan bergurau secara nyata. Kejengkelan itu muncul dari karena kita tak mencoba bersahabat dengan keadaan. Kita hanya mementingkan diri sendiri. Kita lupa bahwa jika toh keinginan kita tidak tercapai, tak ada salahnya kita menyambutnya dengan senyum, meski secara kecut, tak apalah
Cara Alam Menghibur Kita
Pernahkah kita mengalami ketika hujan deras mengguyur, kita lupa membawa payung. Lalu kita pun berbasah kuyup kedinginan. Namun, ketika kita siapkan jas hujan, justru panas dan terik datang membakar hari. Sebalkah anda?
Atau mungkin kita pernah terburu-buru mengejar waktu, tetapi perjalanan malah tersendat, seolah membiarkan kita terlambat. Namun, ketika kita ingin melaju dengan tenang, pengendara lain malah membunyikan klakson agar kita mempercepat langkah. Sebalkah anda?
Mengapa keadaan seringkali tidak bersahabat? Mereka seakan meledek, mengecoh, bahkan tertawa terbahak-bahak. Inikah yang disebut dengan “ketidakmujuran”?
Sadari saja, itu adalah cara alam menghibur kita. Itulah cara alam mengajak kita tersenyum, menertawakan diri kita sendiri, dan bergurau secara nyata. Kejengkelan itu muncul dari karena kita tak mencoba bersahabat dengan keadaan. Kita hanya mementingkan diri sendiri. Kita lupa bahwa jika toh keinginan kita tidak tercapai, tak ada salahnya kita menyambutnya dengan senyum, meski secara kecut, tak apalah
Senasib
Tak peduli apakah anda percaya akan adanya takdir atau tidak, sejatinya kita ini memiliki satu takdir yang sama; yaitu menjadi manusia yang berbahagia. Tak butuh lebih dari satu kata untuk menjabarkan kebahagiaan. Karena kebahagiaan bukan untuk didefinisikan, namun dipahami dan dipancarkan dari dalam diri anda.
Tak peduli apa warna kulit, bentuk mata, dan garis rambut anda. Tak peduli pula apa bahasa, keyakinan dan pegangan anda. Kita semua berhak menjadi bahagia. Dan semua ajaran kebijakan mengajak kita untuk membebaskan diri dari hambatan-hambatan yang membuat kita tak bahagia. Karena itu, tiada salahnya setelah menyisihkan waktu di akhir pekan ini untuk merenungi semua perjalanan yang sedang kita lalui,
sambil menatap jauh ke depan dan ke dalam diri, kita tuliskan tujuan hidup: untuk mencapai sebuah kebahagiaan sejati. Kebahagiaan yang membebaskan kita dari sekat-sekat antar sesama. Dan itu dimulai
dengan membebaskan diri dari sekat ego kita sendiri.
Tak peduli apa warna kulit, bentuk mata, dan garis rambut anda. Tak peduli pula apa bahasa, keyakinan dan pegangan anda. Kita semua berhak menjadi bahagia. Dan semua ajaran kebijakan mengajak kita untuk membebaskan diri dari hambatan-hambatan yang membuat kita tak bahagia. Karena itu, tiada salahnya setelah menyisihkan waktu di akhir pekan ini untuk merenungi semua perjalanan yang sedang kita lalui,
sambil menatap jauh ke depan dan ke dalam diri, kita tuliskan tujuan hidup: untuk mencapai sebuah kebahagiaan sejati. Kebahagiaan yang membebaskan kita dari sekat-sekat antar sesama. Dan itu dimulai
dengan membebaskan diri dari sekat ego kita sendiri.
Keshalihan Itu Menembus Segala Batas
Suasana di Madinah begitu mencekam. Hari-hari terasa lamban berjalan. Telah lima tahun Rasulullah dan kaumnya tinggal di kota baru itu. Selama masa itu telah benyak peristiwa besar terjadi. Tetapi, hari itu kaum Muslimin menghadapi peristiwa paling genting sepanjang sejarah perjuangan mereka. Menghadapi saat-saat menegangkan, dikepung kafir Quraisy dan Yahudi dari segala penjuru.
Biang dari semua itu adalah Yahudi Bani Nadhir. Para pembesarnya begitu antusias membakar semangat orang-orang kafir Quraisy. Mengajkak mereka menumpas kaum Muslimin. Tidak hanya itu Bani Nadhir juga memprovokasi dan mengajak Yahudi Bani Ghathafan,Bani Fuzarah, dan Bani Murrah yang memang telah punya dendam kesumat kepada kaum Muslimin. Dalam pada itu, tiba-tiba Yahudi Bani Quraidah yang telah terikat perjanjian dengan Rasulullah dan kaum Muslimin juga mmengkhianati. Keguncangan datang berlapis-lapis.
Dengan usulan Salman Al-Farisi, kaum Muslimin menggali parit. Mereka bahu membahu bekerja keras. Tetapi suasana menakutkan tak serta merta hilang. Apalagi orang-orang munafik didalam kota Madinah tidak mau turut bekerja. Siang dan malam silih berganti. Kaum Muslimin tidak bisa kemana-mana. Segalanya begitu menakutkan.Buku-buku sirah menulis panjang lebar tentang perang yang dikenal dengan Perang Ahzab (sekutu) atau Perang Khandaq (parit) itu. Allah menggambarkan betapa dahsyatnya goncangan yang terjadi saat itu, seperti dalam firman-Nya, "(yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan (mu) dan hatimu naik menyesak sampai ketenggorokan, dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam prasangka." (QS. Al-Ahzab: 10).
Hingga ketika segalanya mencapai puncaknya, Allah SWT mnurunkan karunia dan pertolongan-Nya. Para tentara sekutu itu diobrak-abrik Allah melalui tentaranya dibuni. Dikirimnya angin topan yang dahsyat dan malaikat. Allah SWT mengisahkan, "Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepadamu, ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan adalah Allah Maha Melihat akat apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Ahzab: 9)
Begitulah. Akhirnya Rasulullah dan orang-orang beriman itu diselamatkan Allah. Banyak pelajaran penting dari Perang Ahzab. Satu diantaranya , bahwa karunia Allah itu menembus segala batas. Seperti juga angin dan pasir yang menghancurkan tentara sekutu kafir itu, seperti itu pula dalam hidup ini, ada banyak tentara Allah yang bertebaran di muka bumi. Bila Allah berkehendak, mereka bisa diperintahkan menolong kaum Muslimin. Mungkin konteksnya tidak selalu dalam medan jihad perang. Tetapi bisa saja dalam lingkup kehidupan sehari-hari pribadi seorang Mukmin.
Terlalu banyak rahasia hidup yang tidak kita ketahui. Karenanya kita semua sangat berharap kepada karunia Allah, kita memang boleh berhitung. Tentang apa saja. Juga tentang hidup yang berliku-liku. Tetapi, hidup tak selamanya berjalan dalam dalam kalkulasi matematis. Ada ruang lain yang harus kita yakini. Karena diluar diri kita, diluar seluruh makhluk langit dan bumi, ada kekuasaan Allah. Itulah ruang lain itu. Kita semua
adalah hamba Allah Yang Maha Kuasa. Karenanya, kita perlu kepada kekuatan, pertolongan, dan dukungan Allah. Tidak ada yang bisa hidup tanpa pertolongan Allah. Allah SWT berfirman, "Jika Allah menolong kamu, maka tak ada orang yang dapat mengalahkan kamu. Dan jika Allah membiarkan kamu (tidak memberikan pertolongan), maka siapa gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal." (QS. Ali Imran: 160)
Suka duka hidup ini, sering kali tidak bisa kita tebak. Apa yang menurut kita akan berjalan kearah yang baik, bisa jadi berujung dengan keburukan. Apa yang kita sangka tidak menyenangkan, ternyata akhirnya sangat membahagiakan. Apalagi musibah, bencana, dan malapetaka, seringkali datang dengan sangat tiba-tiba. Lalu, dalam sekejap tatanan hidup secara sosial maupun material yang bertahun-tahun kita bangun menjadi luluh lantak. Nyawa orang-orang yang kita cintai pun melayang.
Tidak semua yang kita rencanakan pasti berhasil. Karena hidup ini bukan lurus tanpa belokan. Terlalu banyak rahasia Allah yang tidak kita ketahui. Kalu untuk sekedar makan atau minum, atau menyambung nyawa, Allah akan memberikannya untuk orang beriman maupun untuk orang kafir. Tetapi soal berkah, pembelaan Allah, karunia, pahala, bimbingan, petunjuk, penghargaan, bahkan janji surga, itu hanya diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin.
Kita tidak sekedar perlu makan dan minum. Bagi seorang mukmin, hidup tidak sekedar mengisi perut dan menyambung nafas. Ada pemaknaan jauh lebih tinggi, terhormat, dan mengantarkan kita pada harga diri kemanusiaan yang paling tinggi: sebagai khalifah. Wakil Allah dimuka bumi, yang tugasnya kepada Allah, memakmurkan bumi, dan menegakkan agama-Nya.
Itu semakin menegaskan, bahwa kita harus mendekat kepada Allah. Dengan beragam amal keshalihan. Agar, dengan amal-amal itu, Allah berkenan menurunkan berkah-berkah-Nya, dalam bentuk apapun, yang menjadi penguat perjalanan hidup kita. Dalam bahasa Islam, mengharapkan berkah dengan mempersembahkan amal keshalihan ini disebut dengan tawassul. Artinya, memohon sesuatu kepada Allah dengan terlebih dahulu mempersembahkan amal keshalihan tertentu, yang amal itu sendiri dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu mendapat keberuntungan." (QS. Al-Maidah: 35)
Karunia-karunia ini harus dimohonkan kepada Allah. Dengan cara semaksimal mungkin agar kita menjadi orang yang shalih. Karena berkah-berkah kesalihan itulah yang diharapkan bisa menurunkan karunia tersebut. Itu pun sesungguhnya tidak serta mertasemua karunia Allah murni karena amal kita. Mungkin kebanyakan merupakan kebaikan (ihsan) dari Allah. Kalau sekedar mengandalkan amal kita, kita bisa
menghitung. Sudah seberapa kualitas amal kita? Tidak akan sebanding dengan karunia Allah.
Bahkan, kadang apa yang kita nikmati dari karunia hidup ini boleh jadi lantaran berkah dari keshalihan orang lain, seperti para da'i yang tak kenal henti untuk terus berjuang dijalan Allah, mencegah kepada kemungkaran dan menyerukan kepada kebaikan, atau pada orang-orang tertindas yang terus berdoa, taau orang-orang miskin yang tetap menjaga kehormatan dirinya, atau para orang tua kita yang setiap malam menangis
kepada Allah meminta agar anak-anaknya, yang juga darah dagingnya jangan sampai menjadi sampah masyarakat.
Alangkah bodohnya kita, bila memandang alur hidup ini sangat individual. Merasa diri segala-galanya. Sejarah sendiri membuktikan, mereka yang mendapatkan karunia dari Allah, adalah mereka yang telah mempersembahkan kepada Allah begitu banyak keshalihan. Kalaupun tidak banyak secara jumlah, mungkin secara mutu dan kualitas amal. Berkah dan karunia itu tidak gratis, kecuali apa yang memang merupakan kebaikan Allah secara Cuma-Cuma untuk makhluk hidup-Nya.
Lihatlah para pejuang dijalan Allah. Mereka mempersembahkan puncak tertinggi dari bentuk amal keshlihannya. Lalu gugur di medan jihad. Maka mereka pun mendapat berkah yang sangat luar biasa, sebagai mana firman Allah SWT., "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki." (QS. Ali Imran: 169). Selain itu, orang yang gugur syahid bisa memberi syafaat kepada tujuh puluh orang dari keluarganya. Ia mendapat isteri para bidadari, dan mendapat banyak sekali kemuliaan di surga Allah.
Berkah-berkah keshalihan memang banyak bentuknya. Kadang berupa rezeki yang bermanfaat, anak yang shalih, suami atau isteri yang shalih dan shalihat, atau bentuk-bentuk lainnya yang masih banyak lagi. Seperti kisah Ummu Salamah sebelum menjadi isteri Rasulullah. Ia bertutur, bahwa ketika suaminya, Abu Salamah meninggal, ia sangat sedih. Abu Salamah sendiri seorang sahabat yang terkenal keshalihannya, juga berperan
besar dalam hijrah. Sampai-sampai Ummu Salamah berkata, "Aduhai, siapakah lelaki muslim yang lebih baik dari Abu Salamah?"
Tetapi Ummu Salamah berusaha tegar. Ia lantas mengucapkan doa yang diajarkan Rasulullah SAW. "Allahumma ajirni fii musibatii wakhluflii khairan minhaa (ya Allah, anugerahi ganjaran dalam musibahku ini, dan berikanlah aku ganti dengan yang lebih baik). Akhirnya, Ummu Salamah benar-benar mendapat ganti seorang suami, yang tentu lebih baik dari Abu Salamah. Karena suami barunya itu adalah Rasulullah SAW.
Setiap kita bisa mengejar berkah-berkah keshalihan itu. Dari pintu yang bermacam-macam. Karena Allah telah berjanji, dan janji Allah pasti ditepati, bahwa Dia tidak akan menyia-nyiakan siapapun yang beramal shalih. Jalan mengejar berkah keshalihan itu sebanyak jalan menuju amal kebaikan itu sendiri. Dari yang terkecil hingga yang terbesar. Dari yang bobotnya ringan hingga yang bernilai sangat tinggi.
Hidup ini memang memerlukan keberanian. Tetapi, keberanian seorang mukmin terlebih dulu dengan iman dan amalnya, sebelum dengan bentuk-bentuk kekuatan lainnya. Siapa yang mendekat kepada Allah sejengkal, Allah akan mendekat kepadanya sehasta. Siapa yang menuju Allah dengan berjalan, Allah akan mendekat kepadanya dengan berlari. Demikian seterusnya.
Dimalam-malam yang tak lagi ada suara. Ketika segala yang bergerak menjadi diam. Ketika hati jauh dari hiruk pikuk kehidupan yang congkak. Itu adalah saat-saat terindah untuk bersimpuh kepada Allah. Saat yang tepat untuk mendidik jiwa kepuncak kejujurannya, bahwa ternyata kita bukan apa-apa. Bahkan tak bisa memberikan jaminan apap bagi bagi detik-detik kehidupan kita berikutnya. Kini saatnya kia kembali kepada
tuntunan Allah, dengan iman dan amal shalih, sebaik dan sebanyak yang kita bisa.[]
***
Majalah Tarbawi, Edisi 38 Hal. 6 Th.4/4 Juli 2002
Istana Umar bin Khattab
Dikisahkan pada suatu hari nampak seorang Yahudi dari Mesir baru saja tiba
di Pusat Pemerintahan Islam di Madinah, kemudian dia bertanya kepada seorang
lelaki : " Dimanakah istana raja negeri ini?".
"Lepas Dzuhur nanti beliau akan berada di tempat istirahatnya di depan
masjid, dekat batang kurma itu," jawab lelaki yang ditanya.
Dalam benak si Yahudi Mesir itu terbayang keindahan istana khalifah.
Apalagi umat Islam sedang di puncak jayanya. Tentu bangunan kerajaannya
pastilah sebuah bangunan yang megah dengan dihiasi kebun kurma yang rindang
tempat berteduh khalifah.
Namun lelaki itu tidak mendapati dalam kenyataan bangunan yang ada dalam
benaknya itu. Dia jadi bingung dibuatnya, sebab di tempat yang ditunjuk oleh
lelaki yang ditanya tadi tidak ada bangunan megah yang mirip istana. Memang di
situ ada pohon kurma, tetapi hanya sebatang dan di bawah pohon kurma itu tampak
seorang lelaki bertubuh tinggi besar memakai jubah kusam. Lelaki berjubah kusam
itu tampak tidur-tiduran ayam atau mungkin juga sedang berdzikir. Yahudi itu
tidak punya pilihan selain mendekati lelaki yang bersender di bawah sebatang
pohon kurma.
Orang Yahudi itu lalu bertanya : " Maaf, saya ingin bertemu dengan
Umar bin Khattab ".
Lelaki yang ditanya bangkit dan menjawab : " Akulah Umar bin Khattab
".
Orang Yahudi itu terbengong-bengong dan untuk menegaskannya dia bertanya
lagi : "
Maksud saya Umar yang khalifah, pemimpin negeri ini ".
" Ya, akulah khalifah pemimpin negeri ini ". kata Umar bin
Khattab tidak kalah tegas.
Mulut orang Yahudi itu seakan terkunci dan sangat takjub. Jelas semua itu
jauh dari bayangannya dan jauh sekali kalau dibandingkan dengan para rahib
Yahudi yang hidupnya serba mewah. Itu baru kelas rahib, apalagi kalau
dibandingkan dengan gaya hidup rajanya yang sudah jamak hidup dengan istana
serba gemerlap.
Sungguh sama sekali tidak terlintas di benaknya, masih ada seorang pemimpin
yang kaumnya tengah berjaya, tapi dia tempat istirahatnya hanya dengan
menggelar selembar tikar di bawah pohon kurma beratapkan langit lagi.
"Di manakah istana Tuan?" tanya si Yahudi di antara rasa
penasarannya.
Khalifah Umar bin Khattab menjawab sambil menunjukkan : " Kalau yang
kau maksud kediamanku, maka dia ada di sudut jalan itu, bangunan nomor tiga
dari yang terakhir."
" Yang itu? Bangunan yang kecil dan kusam itu?". Tanya orang
Yahudi itu masih
keheranan.
" Ya ! Namun itu bukan istanaku, sebab istanaku berada di dalam hati
yang tentram
dengan ibadah kepada Allah SWT ". Orang Yahudi itu tertunduk dan
hatinya yang semula panas oleh kemarahannya karena ditimbuni berbagai rasa
tidak puas, kini mencair sudah.
" Tuan, saksikanlah bahwa sejak hari ini saya yakini kebenaran agama
Tuan dan
ijinkanlah saya menjadi pemeluk Islam sampai mati ". Kata orang Yahudi
itu. Tidak terasa matanya terasa hangat karena membendung air matanya dan
akhirrnya satu-persatu tetes air matanya jatuh.
subhanallah
Serasa dan Serasi
Berikut ini sebuah cerita dari Bayazid Al-Busthami, yang insya Allah, dapat
kita ambil pelajaran daripadanya; Di samping seorang sufi, Bayazid juga adalah
pengajar tasawuf. Di antara jamaahnya, ada seorang santri yang juga memiliki
murid yang banyak. Santri itu juga menjadi kyai bagi jamaahnya sendiri. Karena
telah memiliki murid, santri ini selalu memakai pakaian yang menunjukkan
kesalihannya, seperti baju putih, serban, dan wewangian tertentu.
Suatu saat, muridnya itu mengadu kepada Bayazid, “Tuan Guru, saya sudah
beribadat tiga puluh tahun lamanya. Saya shalat setiap malam dan puasa setiap
hari, tapi anehnya, saya belum mengalami pengalaman ruhani yang Tuan Guru
ceritakan. Saya tak pernah saksikan apa pun yang Tuan gambarkan.”
Bayazid menjawab, “Sekiranya kau beribadat selama tiga ratus tahun pun, kau
takkan mencapai satu butir pun debu mukasyafah dalam hidupmu.”Murid itu heran,
“Mengapa, ya Tuan Guru?” “Karena kau tertutup oleh dirimu,” jawab Bayazid.
“Bisakah kau obati aku agar hijab itu tersingkap?” pinta sang murid. “Bisa,”
ucap Bayazid, “tapi kau takkan melakukannya.” “Tentu saja akan aku lakukan,”
sanggah murid itu.
“Baiklah kalau begitu,” kata Bayazid, “sekarang tanggalkan pakaianmu.
Sebagai gantinya, pakailah baju yang lusuh, sobek, dan compang-camping.
Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang. Pergilah kau ke pasar, kumpulkan
sebanyak mungkin anak-anak kecil di sana. Katakan pada mereka, “Hai anak- anak,
barangsiapa di antara kalian yang mau menampar aku satu kali, aku beri satu
kantung kacang.” Lalu datangilah tempat di mana jamaah kamu sering mengagumimu.
Katakan juga pada mereka, “Siapa yang mau menampar mukaku, aku beri satu
kantung kacang!”
“Subhanallah, masya Allah, lailahailallah,” kata murid itu terkejut.
Bayazid berkata, “Jika kalimat-kalimat suci itu diucapkan oleh orang kafir, ia
berubah menjadi mukmin. Tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh seorang
sepertimu, kau berubah dari mukmin menjadi kafir.” Murid itu keheranan,
“Mengapa bisa begitu?”
Bayazid menjawab, “Karena kelihatannya kau sedang memuji Allah, padahal
sebenarnya kau sedang memuji dirimu. Ketika kau katakan: Tuhan mahasuci,
seakan- akan kau mensucikan Tuhan padahal kau menonjolkan kesucian dirimu.”
“Kalau begitu,” murid itu kembali meminta, “berilah saya nasihat lain.” Bayazid
menjawab, “Bukankah aku sudah bilang, kau takkan mampu melakukannya!”
Cerita ini mengandung pelajaran yang amat berharga. Bayazid mengajarkan
bahwa orang yang sering beribadat mudah terkena penyakit ujub dan takabur.
“Hati-hatilah kalian dengan ujub,” pesan Iblis. Dahulu, Iblis beribadat ribuan
tahun kepada Allah. Tetapi karena takaburnya terhadap Adam, Tuhan menjatuhkan
Iblis ke derajat yang serendah-rendahnya.
Takabur dapat terjadi karena amal atau kedudukan kita. Kita sering merasa
menjadi orang yang penting dan mulia. Bayazid menyuruh kita menjadi orang hina
agar ego dan keinginan kita untuk menonjol dan dihormati segera hancur, yang
tersisa adalah perasaan tawadhu dan kerendah-hatian. Hanya dengan itu kita bisa
mencapai hadirat Allah swt.
Orang-orang yang suka mengaji juga dapat jatuh kepada ujub. Mereka merasa
telah memiliki ilmu yang banyak.
Suatu hari, seseorang datang kepada Nabi saw, “Ya Rasulallah, aku rasa aku
telah banyak mengetahui syariat Islam. Apakah ada hal lain yang dapat kupegang
teguh?”Nabi menjawab, :”Katakanlah: Tuhanku Allah, kemudian ber- istiqamah-lah
kamu.” Ujub seringkali terjadi di kalangan orang yang banyak beribadat. Orang
sering merasa ibadat yang ia lakukan sudah lebih dari cukup sehingga ia
menuntut Tuhan agar membayar pahala amal yang ia lakukan. Ia menganggap ibadat
sebagai investasi.
Orang yang gemar beribadat cenderung jatuh pada perasaan tinggi diri.
Ibadat dijadikan cara untuk meningkatkan statusnya di tengah masyarakat. Orang
itu akan amat tersinggung bila tidak diberikan tempat yang memadai statusnya.
Sebagai seorang ahli ibadat, ia ingin disambut dalam setiap majelis dan diberi
tempat duduk yang paling utama.
Tulisan ini saya tutup dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad
dalam musnad-nya; Suatu hari, di depan Rasulullah saw Abu Bakar menceritakan
seorang sahabat yang amat rajin ibadatnya. Ketekunannya menakjubkan semua
orang. Tapi Rasulullah tak memberikan komentar apa-apa. Para sahabat keheranan.
Mereka bertanya-tanya, mengapa Nabi tak menyuruh sahabat yang lain agar
mengikuti sahabat ahli ibadat itu. Tiba-tiba orang yang dibicarakan itu lewat
di hadapan majelis Nabi. Ia kemudian duduk di tempat itu tanpa mengucapkan
salam.
Abu Bakar berkata kepada Nabi, “Itulah orang yang tadi kita bicarakan, ya
Rasulallah.”Nabi hanya berkata, “Aku lihat ada bekas sentuhan setan di
wajahnya.”Nabi lalu mendekati orang itu dan bertanya, “Bukankah kalau kamu
datang di satu majelis kamu merasa bahwa kamulah orang yang paling salih di
majelis itu?”Sahabat yang ditanya menjawab, “Allahumma, na’am. Ya Allah, memang
begitulah aku.” Orang itu lalu pergi meninggalkan majelis Nabi. Setelah itu
Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang mau
membunuh orang itu?”
“Aku,” jawab Abu Bakar. Abu Bakar lalu pergi tapi tak berapa lama ia
kembali lagi, “Ya Rasulallah, bagaimana mungkin aku membunuhnya? Ia sedang
ruku’.” Nabi tetap bertanya, “Siapa yang mau membunuh orang itu?”
Umar bin Khaththab menjawab, “Aku.” Tapi seperti juga Abu Bakar, ia kembali
tanpa membunuh orang itu, “Bagaimana mungkin aku bunuh orang yang sedang
bersujud dan meratakan dahinya di atas tanah?” Nabi masih bertanya, “Siapa yang
akan membunuh orang itu?” Imam Ali bangkit, “Aku.” Ia lalu keluar dengan
membawa pedang dan kembali dengan pedang yang masih bersih, tidak berlumuran
darah, “Ia telah pergi, ya Rasulullah.” Nabi kemudian bersabda, “Sekiranya
engkau bunuh dia. Umatku takkan pecah sepeninggalku….”
Dari kisah ini pun kita dapat mengambil hikmah: Selama di tengah- tengah
kita masih terdapat orang yang merasa dirinya paling salih, paling berilmu, dan
paling benar dalam pendapatnya, pastilah terjadi perpecahan di kalangan kaum
muslimin. Nabi memberikan pelajaran bagi umatnya bahwa perasaan ujub akan amal
salih yang dimiliki adalah penyebab perpecahan di tengah orang Islam. Ujub
menjadi penghalang naiknya manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Penawarnya
hanya satu, belajarlah menghinakan diri kita. Seperti yang dinasihatkan Bayazid
Al-Busthami kepada santrinya.
Berikut ini sebuah cerita dari Bayazid Al-Busthami, yang insya Allah, dapat
kita ambil pelajaran daripadanya; Di samping seorang sufi, Bayazid juga adalah
pengajar tasawuf. Di antara jamaahnya, ada seorang santri yang juga memiliki
murid yang banyak. Santri itu juga menjadi kyai bagi jamaahnya sendiri. Karena
telah memiliki murid, santri ini selalu memakai pakaian yang menunjukkan
kesalihannya, seperti baju putih, serban, dan wewangian tertentu.
Suatu saat, muridnya itu mengadu kepada Bayazid, “Tuan Guru, saya sudah
beribadat tiga puluh tahun lamanya. Saya shalat setiap malam dan puasa setiap
hari, tapi anehnya, saya belum mengalami pengalaman ruhani yang Tuan Guru
ceritakan. Saya tak pernah saksikan apa pun yang Tuan gambarkan.”
Bayazid menjawab, “Sekiranya kau beribadat selama tiga ratus tahun pun, kau
takkan mencapai satu butir pun debu mukasyafah dalam hidupmu.”Murid itu heran,
“Mengapa, ya Tuan Guru?” “Karena kau tertutup oleh dirimu,” jawab Bayazid.
“Bisakah kau obati aku agar hijab itu tersingkap?” pinta sang murid. “Bisa,”
ucap Bayazid, “tapi kau takkan melakukannya.” “Tentu saja akan aku lakukan,”
sanggah murid itu.
“Baiklah kalau begitu,” kata Bayazid, “sekarang tanggalkan pakaianmu.
Sebagai gantinya, pakailah baju yang lusuh, sobek, dan compang-camping.
Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang. Pergilah kau ke pasar, kumpulkan
sebanyak mungkin anak-anak kecil di sana. Katakan pada mereka, “Hai anak- anak,
barangsiapa di antara kalian yang mau menampar aku satu kali, aku beri satu
kantung kacang.” Lalu datangilah tempat di mana jamaah kamu sering mengagumimu.
Katakan juga pada mereka, “Siapa yang mau menampar mukaku, aku beri satu
kantung kacang!”
“Subhanallah, masya Allah, lailahailallah,” kata murid itu terkejut.
Bayazid berkata, “Jika kalimat-kalimat suci itu diucapkan oleh orang kafir, ia
berubah menjadi mukmin. Tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh seorang
sepertimu, kau berubah dari mukmin menjadi kafir.” Murid itu keheranan,
“Mengapa bisa begitu?”
Bayazid menjawab, “Karena kelihatannya kau sedang memuji Allah, padahal
sebenarnya kau sedang memuji dirimu. Ketika kau katakan: Tuhan mahasuci,
seakan- akan kau mensucikan Tuhan padahal kau menonjolkan kesucian dirimu.”
“Kalau begitu,” murid itu kembali meminta, “berilah saya nasihat lain.” Bayazid
menjawab, “Bukankah aku sudah bilang, kau takkan mampu melakukannya!”
Cerita ini mengandung pelajaran yang amat berharga. Bayazid mengajarkan
bahwa orang yang sering beribadat mudah terkena penyakit ujub dan takabur.
“Hati-hatilah kalian dengan ujub,” pesan Iblis. Dahulu, Iblis beribadat ribuan
tahun kepada Allah. Tetapi karena takaburnya terhadap Adam, Tuhan menjatuhkan
Iblis ke derajat yang serendah-rendahnya.
Takabur dapat terjadi karena amal atau kedudukan kita. Kita sering merasa
menjadi orang yang penting dan mulia. Bayazid menyuruh kita menjadi orang hina
agar ego dan keinginan kita untuk menonjol dan dihormati segera hancur, yang
tersisa adalah perasaan tawadhu dan kerendah-hatian. Hanya dengan itu kita bisa
mencapai hadirat Allah swt.
Orang-orang yang suka mengaji juga dapat jatuh kepada ujub. Mereka merasa
telah memiliki ilmu yang banyak.
Suatu hari, seseorang datang kepada Nabi saw, “Ya Rasulallah, aku rasa aku
telah banyak mengetahui syariat Islam. Apakah ada hal lain yang dapat kupegang
teguh?”Nabi menjawab, :”Katakanlah: Tuhanku Allah, kemudian ber- istiqamah-lah
kamu.” Ujub seringkali terjadi di kalangan orang yang banyak beribadat. Orang
sering merasa ibadat yang ia lakukan sudah lebih dari cukup sehingga ia
menuntut Tuhan agar membayar pahala amal yang ia lakukan. Ia menganggap ibadat
sebagai investasi.
Orang yang gemar beribadat cenderung jatuh pada perasaan tinggi diri.
Ibadat dijadikan cara untuk meningkatkan statusnya di tengah masyarakat. Orang
itu akan amat tersinggung bila tidak diberikan tempat yang memadai statusnya.
Sebagai seorang ahli ibadat, ia ingin disambut dalam setiap majelis dan diberi
tempat duduk yang paling utama.
Tulisan ini saya tutup dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad
dalam musnad-nya; Suatu hari, di depan Rasulullah saw Abu Bakar menceritakan
seorang sahabat yang amat rajin ibadatnya. Ketekunannya menakjubkan semua
orang. Tapi Rasulullah tak memberikan komentar apa-apa. Para sahabat keheranan.
Mereka bertanya-tanya, mengapa Nabi tak menyuruh sahabat yang lain agar
mengikuti sahabat ahli ibadat itu. Tiba-tiba orang yang dibicarakan itu lewat
di hadapan majelis Nabi. Ia kemudian duduk di tempat itu tanpa mengucapkan
salam.
Abu Bakar berkata kepada Nabi, “Itulah orang yang tadi kita bicarakan, ya
Rasulallah.”Nabi hanya berkata, “Aku lihat ada bekas sentuhan setan di
wajahnya.”Nabi lalu mendekati orang itu dan bertanya, “Bukankah kalau kamu
datang di satu majelis kamu merasa bahwa kamulah orang yang paling salih di
majelis itu?”Sahabat yang ditanya menjawab, “Allahumma, na’am. Ya Allah, memang
begitulah aku.” Orang itu lalu pergi meninggalkan majelis Nabi. Setelah itu
Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang mau
membunuh orang itu?”
“Aku,” jawab Abu Bakar. Abu Bakar lalu pergi tapi tak berapa lama ia
kembali lagi, “Ya Rasulallah, bagaimana mungkin aku membunuhnya? Ia sedang
ruku’.” Nabi tetap bertanya, “Siapa yang mau membunuh orang itu?”
Umar bin Khaththab menjawab, “Aku.” Tapi seperti juga Abu Bakar, ia kembali
tanpa membunuh orang itu, “Bagaimana mungkin aku bunuh orang yang sedang
bersujud dan meratakan dahinya di atas tanah?” Nabi masih bertanya, “Siapa yang
akan membunuh orang itu?” Imam Ali bangkit, “Aku.” Ia lalu keluar dengan
membawa pedang dan kembali dengan pedang yang masih bersih, tidak berlumuran
darah, “Ia telah pergi, ya Rasulullah.” Nabi kemudian bersabda, “Sekiranya
engkau bunuh dia. Umatku takkan pecah sepeninggalku….”
Dari kisah ini pun kita dapat mengambil hikmah: Selama di tengah- tengah
kita masih terdapat orang yang merasa dirinya paling salih, paling berilmu, dan
paling benar dalam pendapatnya, pastilah terjadi perpecahan di kalangan kaum
muslimin. Nabi memberikan pelajaran bagi umatnya bahwa perasaan ujub akan amal
salih yang dimiliki adalah penyebab perpecahan di tengah orang Islam. Ujub
menjadi penghalang naiknya manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Penawarnya
hanya satu, belajarlah menghinakan diri kita. Seperti yang dinasihatkan Bayazid
Al-Busthami kepada santrinya.
Ujub dan Takabur
Berikut ini sebuah cerita dari Bayazid Al-Busthami, yang insya Allah, dapat
kita ambil pelajaran daripadanya; Di samping seorang sufi, Bayazid juga adalah
pengajar tasawuf. Di antara jamaahnya, ada seorang santri yang juga memiliki
murid yang banyak. Santri itu juga menjadi kyai bagi jamaahnya sendiri. Karena
telah memiliki murid, santri ini selalu memakai pakaian yang menunjukkan
kesalihannya, seperti baju putih, serban, dan wewangian tertentu.
Suatu saat, muridnya itu mengadu kepada Bayazid, “Tuan Guru, saya sudah
beribadat tiga puluh tahun lamanya. Saya shalat setiap malam dan puasa setiap
hari, tapi anehnya, saya belum mengalami pengalaman ruhani yang Tuan Guru
ceritakan. Saya tak pernah saksikan apa pun yang Tuan gambarkan.”
Bayazid menjawab, “Sekiranya kau beribadat selama tiga ratus tahun pun, kau
takkan mencapai satu butir pun debu mukasyafah dalam hidupmu.”Murid itu heran,
“Mengapa, ya Tuan Guru?” “Karena kau tertutup oleh dirimu,” jawab Bayazid.
“Bisakah kau obati aku agar hijab itu tersingkap?” pinta sang murid. “Bisa,”
ucap Bayazid, “tapi kau takkan melakukannya.” “Tentu saja akan aku lakukan,”
sanggah murid itu.
“Baiklah kalau begitu,” kata Bayazid, “sekarang tanggalkan pakaianmu.
Sebagai gantinya, pakailah baju yang lusuh, sobek, dan compang-camping.
Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang. Pergilah kau ke pasar, kumpulkan
sebanyak mungkin anak-anak kecil di sana. Katakan pada mereka, “Hai anak- anak,
barangsiapa di antara kalian yang mau menampar aku satu kali, aku beri satu
kantung kacang.” Lalu datangilah tempat di mana jamaah kamu sering mengagumimu.
Katakan juga pada mereka, “Siapa yang mau menampar mukaku, aku beri satu
kantung kacang!”
“Subhanallah, masya Allah, lailahailallah,” kata murid itu terkejut.
Bayazid berkata, “Jika kalimat-kalimat suci itu diucapkan oleh orang kafir, ia
berubah menjadi mukmin. Tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh seorang
sepertimu, kau berubah dari mukmin menjadi kafir.” Murid itu keheranan,
“Mengapa bisa begitu?”
Bayazid menjawab, “Karena kelihatannya kau sedang memuji Allah, padahal
sebenarnya kau sedang memuji dirimu. Ketika kau katakan: Tuhan mahasuci,
seakan- akan kau mensucikan Tuhan padahal kau menonjolkan kesucian dirimu.”
“Kalau begitu,” murid itu kembali meminta, “berilah saya nasihat lain.” Bayazid
menjawab, “Bukankah aku sudah bilang, kau takkan mampu melakukannya!”
Cerita ini mengandung pelajaran yang amat berharga. Bayazid mengajarkan
bahwa orang yang sering beribadat mudah terkena penyakit ujub dan takabur.
“Hati-hatilah kalian dengan ujub,” pesan Iblis. Dahulu, Iblis beribadat ribuan
tahun kepada Allah. Tetapi karena takaburnya terhadap Adam, Tuhan menjatuhkan
Iblis ke derajat yang serendah-rendahnya.
Takabur dapat terjadi karena amal atau kedudukan kita. Kita sering merasa
menjadi orang yang penting dan mulia. Bayazid menyuruh kita menjadi orang hina
agar ego dan keinginan kita untuk menonjol dan dihormati segera hancur, yang
tersisa adalah perasaan tawadhu dan kerendah-hatian. Hanya dengan itu kita bisa
mencapai hadirat Allah swt.
Orang-orang yang suka mengaji juga dapat jatuh kepada ujub. Mereka merasa
telah memiliki ilmu yang banyak.
Suatu hari, seseorang datang kepada Nabi saw, “Ya Rasulallah, aku rasa aku
telah banyak mengetahui syariat Islam. Apakah ada hal lain yang dapat kupegang
teguh?”Nabi menjawab, :”Katakanlah: Tuhanku Allah, kemudian ber- istiqamah-lah
kamu.” Ujub seringkali terjadi di kalangan orang yang banyak beribadat. Orang
sering merasa ibadat yang ia lakukan sudah lebih dari cukup sehingga ia
menuntut Tuhan agar membayar pahala amal yang ia lakukan. Ia menganggap ibadat
sebagai investasi.
Orang yang gemar beribadat cenderung jatuh pada perasaan tinggi diri.
Ibadat dijadikan cara untuk meningkatkan statusnya di tengah masyarakat. Orang
itu akan amat tersinggung bila tidak diberikan tempat yang memadai statusnya.
Sebagai seorang ahli ibadat, ia ingin disambut dalam setiap majelis dan diberi
tempat duduk yang paling utama.
Tulisan ini saya tutup dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad
dalam musnad-nya; Suatu hari, di depan Rasulullah saw Abu Bakar menceritakan
seorang sahabat yang amat rajin ibadatnya. Ketekunannya menakjubkan semua
orang. Tapi Rasulullah tak memberikan komentar apa-apa. Para sahabat keheranan.
Mereka bertanya-tanya, mengapa Nabi tak menyuruh sahabat yang lain agar
mengikuti sahabat ahli ibadat itu. Tiba-tiba orang yang dibicarakan itu lewat
di hadapan majelis Nabi. Ia kemudian duduk di tempat itu tanpa mengucapkan
salam.
Abu Bakar berkata kepada Nabi, “Itulah orang yang tadi kita bicarakan, ya
Rasulallah.”Nabi hanya berkata, “Aku lihat ada bekas sentuhan setan di
wajahnya.”Nabi lalu mendekati orang itu dan bertanya, “Bukankah kalau kamu
datang di satu majelis kamu merasa bahwa kamulah orang yang paling salih di
majelis itu?”Sahabat yang ditanya menjawab, “Allahumma, na’am. Ya Allah, memang
begitulah aku.” Orang itu lalu pergi meninggalkan majelis Nabi. Setelah itu
Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang mau
membunuh orang itu?”
“Aku,” jawab Abu Bakar. Abu Bakar lalu pergi tapi tak berapa lama ia
kembali lagi, “Ya Rasulallah, bagaimana mungkin aku membunuhnya? Ia sedang
ruku’.” Nabi tetap bertanya, “Siapa yang mau membunuh orang itu?”
Umar bin Khaththab menjawab, “Aku.” Tapi seperti juga Abu Bakar, ia kembali
tanpa membunuh orang itu, “Bagaimana mungkin aku bunuh orang yang sedang
bersujud dan meratakan dahinya di atas tanah?” Nabi masih bertanya, “Siapa yang
akan membunuh orang itu?” Imam Ali bangkit, “Aku.” Ia lalu keluar dengan
membawa pedang dan kembali dengan pedang yang masih bersih, tidak berlumuran
darah, “Ia telah pergi, ya Rasulullah.” Nabi kemudian bersabda, “Sekiranya
engkau bunuh dia. Umatku takkan pecah sepeninggalku….”
Dari kisah ini pun kita dapat mengambil hikmah: Selama di tengah- tengah
kita masih terdapat orang yang merasa dirinya paling salih, paling berilmu, dan
paling benar dalam pendapatnya, pastilah terjadi perpecahan di kalangan kaum
muslimin. Nabi memberikan pelajaran bagi umatnya bahwa perasaan ujub akan amal
salih yang dimiliki adalah penyebab perpecahan di tengah orang Islam. Ujub
menjadi penghalang naiknya manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Penawarnya
hanya satu, belajarlah menghinakan diri kita. Seperti yang dinasihatkan Bayazid
Al-Busthami kepada santrinya.
Ujub dan Takabur
Berikut ini sebuah cerita dari Bayazid Al-Busthami, yang
insya Allah, dapat kita ambil pelajaran daripadanya; Di samping seorang sufi,
Bayazid juga adalah pengajar tasawuf. Di antara jamaahnya, ada seorang santri
yang juga memiliki murid yang banyak. Santri itu juga menjadi kyai bagi
jamaahnya sendiri. Karena telah memiliki murid, santri ini selalu memakai
pakaian yang menunjukkan kesalihannya, seperti baju putih, serban, dan wewangian
tertentu.
Suatu saat, muridnya itu mengadu kepada Bayazid, “Tuan Guru,
saya sudah beribadat tiga puluh tahun lamanya. Saya shalat setiap malam dan
puasa setiap hari, tapi anehnya, saya belum mengalami pengalaman ruhani yang
Tuan Guru ceritakan. Saya tak pernah saksikan apa pun yang Tuan gambarkan.”
Bayazid menjawab, “Sekiranya kau beribadat selama tiga ratus
tahun pun, kau takkan mencapai satu butir pun debu mukasyafah dalam hidupmu.”Murid
itu heran, “Mengapa, ya Tuan Guru?” “Karena kau tertutup oleh dirimu,” jawab
Bayazid. “Bisakah kau obati aku agar hijab itu tersingkap?” pinta sang murid. “Bisa,”
ucap Bayazid, “tapi kau takkan melakukannya.” “Tentu saja akan aku lakukan,”
sanggah murid itu.
“Baiklah kalau begitu,” kata Bayazid, “sekarang tanggalkan
pakaianmu. Sebagai gantinya, pakailah baju yang lusuh, sobek, dan
compang-camping. Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang. Pergilah kau ke
pasar, kumpulkan sebanyak mungkin anak-anak kecil di sana. Katakan pada mereka,
“Hai anak- anak, barangsiapa di antara kalian yang mau menampar aku satu kali,
aku beri satu kantung kacang.” Lalu datangilah tempat di mana jamaah kamu
sering mengagumimu. Katakan juga pada mereka, “Siapa yang mau menampar mukaku,
aku beri satu kantung kacang!”
“Subhanallah, masya Allah, lailahailallah,” kata murid itu
terkejut. Bayazid berkata, “Jika kalimat-kalimat suci itu diucapkan oleh orang
kafir, ia berubah menjadi mukmin. Tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh seorang
sepertimu, kau berubah dari mukmin menjadi kafir.” Murid itu keheranan,
“Mengapa bisa begitu?”
Bayazid menjawab, “Karena kelihatannya kau sedang memuji
Allah, padahal sebenarnya kau sedang memuji dirimu. Ketika kau katakan: Tuhan
mahasuci, seakan- akan kau mensucikan Tuhan padahal kau menonjolkan kesucian
dirimu.” “Kalau begitu,” murid itu kembali meminta, “berilah saya nasihat
lain.” Bayazid menjawab, “Bukankah aku sudah bilang, kau takkan mampu
melakukannya!”
Cerita ini mengandung pelajaran yang amat berharga. Bayazid
mengajarkan bahwa orang yang sering beribadat mudah terkena penyakit ujub dan
takabur. “Hati-hatilah kalian dengan ujub,” pesan Iblis. Dahulu, Iblis
beribadat ribuan tahun kepada Allah. Tetapi karena takaburnya terhadap Adam,
Tuhan menjatuhkan Iblis ke derajat yang serendah-rendahnya.
Takabur dapat terjadi karena amal atau kedudukan kita. Kita
sering merasa menjadi orang yang penting dan mulia. Bayazid menyuruh kita
menjadi orang hina agar ego dan keinginan kita untuk menonjol dan dihormati
segera hancur, yang tersisa adalah perasaan tawadhu dan kerendah-hatian. Hanya
dengan itu kita bisa mencapai hadirat Allah swt.
Orang-orang yang suka mengaji juga dapat jatuh kepada ujub.
Mereka merasa telah memiliki ilmu yang banyak.
Suatu hari, seseorang datang kepada Nabi saw, “Ya
Rasulallah, aku rasa aku telah banyak mengetahui syariat Islam. Apakah ada hal
lain yang dapat kupegang teguh?”Nabi menjawab, :”Katakanlah: Tuhanku Allah,
kemudian ber- istiqamah-lah kamu.” Ujub seringkali terjadi di kalangan orang
yang banyak beribadat. Orang sering merasa ibadat yang ia lakukan sudah lebih
dari cukup sehingga ia menuntut Tuhan agar membayar pahala amal yang ia
lakukan. Ia menganggap ibadat sebagai investasi.
Orang yang gemar beribadat cenderung jatuh pada perasaan
tinggi diri. Ibadat dijadikan cara untuk meningkatkan statusnya di tengah
masyarakat. Orang itu akan amat tersinggung bila tidak diberikan tempat yang
memadai statusnya. Sebagai seorang ahli ibadat, ia ingin disambut dalam setiap
majelis dan diberi tempat duduk yang paling utama.
Tulisan ini saya tutup dengan sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh Ahmad dalam musnad-nya; Suatu hari, di depan Rasulullah saw Abu Bakar
menceritakan seorang sahabat yang amat rajin ibadatnya. Ketekunannya
menakjubkan semua orang. Tapi Rasulullah tak memberikan komentar apa-apa. Para
sahabat keheranan. Mereka bertanya-tanya, mengapa Nabi tak menyuruh sahabat
yang lain agar mengikuti sahabat ahli ibadat itu. Tiba-tiba orang yang
dibicarakan itu lewat di hadapan majelis Nabi. Ia kemudian duduk di tempat itu
tanpa mengucapkan salam.
Abu Bakar berkata kepada Nabi, “Itulah orang yang tadi kita
bicarakan, ya Rasulallah.”Nabi hanya berkata, “Aku lihat ada bekas sentuhan setan
di wajahnya.”Nabi lalu mendekati orang itu dan bertanya, “Bukankah kalau kamu
datang di satu majelis kamu merasa bahwa kamulah orang yang paling salih di
majelis itu?”Sahabat yang ditanya menjawab, “Allahumma, na’am. Ya Allah, memang
begitulah aku.” Orang itu lalu pergi meninggalkan majelis Nabi. Setelah itu
Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang mau
membunuh orang itu?”
“Aku,” jawab Abu Bakar. Abu Bakar lalu pergi tapi tak berapa
lama ia kembali lagi, “Ya Rasulallah, bagaimana mungkin aku membunuhnya? Ia
sedang ruku’.” Nabi tetap bertanya, “Siapa yang mau membunuh orang itu?”
Umar bin Khaththab menjawab, “Aku.” Tapi seperti juga Abu
Bakar, ia kembali tanpa membunuh orang itu, “Bagaimana mungkin aku bunuh orang
yang sedang bersujud dan meratakan dahinya di atas tanah?” Nabi masih bertanya,
“Siapa yang akan membunuh orang itu?” Imam Ali bangkit, “Aku.” Ia lalu keluar
dengan membawa pedang dan kembali dengan pedang yang masih bersih, tidak
berlumuran darah, “Ia telah pergi, ya Rasulullah.” Nabi kemudian bersabda,
“Sekiranya engkau bunuh dia. Umatku takkan pecah sepeninggalku….”
Dari kisah ini pun kita dapat mengambil hikmah: Selama di
tengah- tengah kita masih terdapat orang yang merasa dirinya paling salih, paling
berilmu, dan paling benar dalam pendapatnya, pastilah terjadi perpecahan di kalangan
kaum muslimin. Nabi memberikan pelajaran bagi umatnya bahwa perasaan ujub akan
amal salih yang dimiliki adalah penyebab perpecahan di tengah orang Islam. Ujub
menjadi penghalang naiknya manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Penawarnya hanya
satu, belajarlah menghinakan diri kita. Seperti yang dinasihatkan Bayazid Al-Busthami
kepada santrinya.
Ujub dan Takabur
Berikut ini sebuah cerita dari Bayazid Al-Busthami, yang
insya Allah, dapat kita ambil pelajaran daripadanya; Di samping seorang sufi,
Bayazid juga adalah pengajar tasawuf. Di antara jamaahnya, ada seorang santri
yang juga memiliki murid yang banyak. Santri itu juga menjadi kyai bagi
jamaahnya sendiri. Karena telah memiliki murid, santri ini selalu memakai
pakaian yang menunjukkan kesalihannya, seperti baju putih, serban, dan wewangian
tertentu.
Suatu saat, muridnya itu mengadu kepada Bayazid, “Tuan Guru,
saya sudah beribadat tiga puluh tahun lamanya. Saya shalat setiap malam dan
puasa setiap hari, tapi anehnya, saya belum mengalami pengalaman ruhani yang
Tuan Guru ceritakan. Saya tak pernah saksikan apa pun yang Tuan gambarkan.”
Bayazid menjawab, “Sekiranya kau beribadat selama tiga ratus
tahun pun, kau takkan mencapai satu butir pun debu mukasyafah dalam hidupmu.”Murid
itu heran, “Mengapa, ya Tuan Guru?” “Karena kau tertutup oleh dirimu,” jawab
Bayazid. “Bisakah kau obati aku agar hijab itu tersingkap?” pinta sang murid. “Bisa,”
ucap Bayazid, “tapi kau takkan melakukannya.” “Tentu saja akan aku lakukan,”
sanggah murid itu.
“Baiklah kalau begitu,” kata Bayazid, “sekarang tanggalkan
pakaianmu. Sebagai gantinya, pakailah baju yang lusuh, sobek, dan
compang-camping. Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang. Pergilah kau ke
pasar, kumpulkan sebanyak mungkin anak-anak kecil di sana. Katakan pada mereka,
“Hai anak- anak, barangsiapa di antara kalian yang mau menampar aku satu kali,
aku beri satu kantung kacang.” Lalu datangilah tempat di mana jamaah kamu
sering mengagumimu. Katakan juga pada mereka, “Siapa yang mau menampar mukaku,
aku beri satu kantung kacang!”
“Subhanallah, masya Allah, lailahailallah,” kata murid itu
terkejut. Bayazid berkata, “Jika kalimat-kalimat suci itu diucapkan oleh orang
kafir, ia berubah menjadi mukmin. Tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh seorang
sepertimu, kau berubah dari mukmin menjadi kafir.” Murid itu keheranan,
“Mengapa bisa begitu?”
Bayazid menjawab, “Karena kelihatannya kau sedang memuji
Allah, padahal sebenarnya kau sedang memuji dirimu. Ketika kau katakan: Tuhan
mahasuci, seakan- akan kau mensucikan Tuhan padahal kau menonjolkan kesucian
dirimu.” “Kalau begitu,” murid itu kembali meminta, “berilah saya nasihat
lain.” Bayazid menjawab, “Bukankah aku sudah bilang, kau takkan mampu
melakukannya!”
Cerita ini mengandung pelajaran yang amat berharga. Bayazid
mengajarkan bahwa orang yang sering beribadat mudah terkena penyakit ujub dan
takabur. “Hati-hatilah kalian dengan ujub,” pesan Iblis. Dahulu, Iblis
beribadat ribuan tahun kepada Allah. Tetapi karena takaburnya terhadap Adam,
Tuhan menjatuhkan Iblis ke derajat yang serendah-rendahnya.
Takabur dapat terjadi karena amal atau kedudukan kita. Kita
sering merasa menjadi orang yang penting dan mulia. Bayazid menyuruh kita
menjadi orang hina agar ego dan keinginan kita untuk menonjol dan dihormati
segera hancur, yang tersisa adalah perasaan tawadhu dan kerendah-hatian. Hanya
dengan itu kita bisa mencapai hadirat Allah swt.
Orang-orang yang suka mengaji juga dapat jatuh kepada ujub.
Mereka merasa telah memiliki ilmu yang banyak.
Suatu hari, seseorang datang kepada Nabi saw, “Ya
Rasulallah, aku rasa aku telah banyak mengetahui syariat Islam. Apakah ada hal
lain yang dapat kupegang teguh?”Nabi menjawab, :”Katakanlah: Tuhanku Allah,
kemudian ber- istiqamah-lah kamu.” Ujub seringkali terjadi di kalangan orang
yang banyak beribadat. Orang sering merasa ibadat yang ia lakukan sudah lebih
dari cukup sehingga ia menuntut Tuhan agar membayar pahala amal yang ia
lakukan. Ia menganggap ibadat sebagai investasi.
Orang yang gemar beribadat cenderung jatuh pada perasaan
tinggi diri. Ibadat dijadikan cara untuk meningkatkan statusnya di tengah
masyarakat. Orang itu akan amat tersinggung bila tidak diberikan tempat yang
memadai statusnya. Sebagai seorang ahli ibadat, ia ingin disambut dalam setiap
majelis dan diberi tempat duduk yang paling utama.
Tulisan ini saya tutup dengan sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh Ahmad dalam musnad-nya; Suatu hari, di depan Rasulullah saw Abu Bakar
menceritakan seorang sahabat yang amat rajin ibadatnya. Ketekunannya
menakjubkan semua orang. Tapi Rasulullah tak memberikan komentar apa-apa. Para
sahabat keheranan. Mereka bertanya-tanya, mengapa Nabi tak menyuruh sahabat
yang lain agar mengikuti sahabat ahli ibadat itu. Tiba-tiba orang yang
dibicarakan itu lewat di hadapan majelis Nabi. Ia kemudian duduk di tempat itu
tanpa mengucapkan salam.
Abu Bakar berkata kepada Nabi, “Itulah orang yang tadi kita
bicarakan, ya Rasulallah.”Nabi hanya berkata, “Aku lihat ada bekas sentuhan setan
di wajahnya.”Nabi lalu mendekati orang itu dan bertanya, “Bukankah kalau kamu
datang di satu majelis kamu merasa bahwa kamulah orang yang paling salih di
majelis itu?”Sahabat yang ditanya menjawab, “Allahumma, na’am. Ya Allah, memang
begitulah aku.” Orang itu lalu pergi meninggalkan majelis Nabi. Setelah itu
Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang mau
membunuh orang itu?”
“Aku,” jawab Abu Bakar. Abu Bakar lalu pergi tapi tak berapa
lama ia kembali lagi, “Ya Rasulallah, bagaimana mungkin aku membunuhnya? Ia
sedang ruku’.” Nabi tetap bertanya, “Siapa yang mau membunuh orang itu?”
Umar bin Khaththab menjawab, “Aku.” Tapi seperti juga Abu
Bakar, ia kembali tanpa membunuh orang itu, “Bagaimana mungkin aku bunuh orang
yang sedang bersujud dan meratakan dahinya di atas tanah?” Nabi masih bertanya,
“Siapa yang akan membunuh orang itu?” Imam Ali bangkit, “Aku.” Ia lalu keluar
dengan membawa pedang dan kembali dengan pedang yang masih bersih, tidak
berlumuran darah, “Ia telah pergi, ya Rasulullah.” Nabi kemudian bersabda,
“Sekiranya engkau bunuh dia. Umatku takkan pecah sepeninggalku….”
Dari kisah ini pun kita dapat mengambil hikmah: Selama di
tengah- tengah kita masih terdapat orang yang merasa dirinya paling salih, paling
berilmu, dan paling benar dalam pendapatnya, pastilah terjadi perpecahan di kalangan
kaum muslimin. Nabi memberikan pelajaran bagi umatnya bahwa perasaan ujub akan
amal salih yang dimiliki adalah penyebab perpecahan di tengah orang Islam. Ujub
menjadi penghalang naiknya manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Penawarnya hanya
satu, belajarlah menghinakan diri kita. Seperti yang dinasihatkan Bayazid Al-Busthami
kepada santrinya.
Berikut ini sebuah cerita dari Bayazid Al-Busthami, yang
insya Allah, dapat kita ambil pelajaran daripadanya; Di samping seorang sufi,
Bayazid juga adalah pengajar tasawuf. Di antara jamaahnya, ada seorang santri
yang juga memiliki murid yang banyak. Santri itu juga menjadi kyai bagi
jamaahnya sendiri. Karena telah memiliki murid, santri ini selalu memakai
pakaian yang menunjukkan kesalihannya, seperti baju putih, serban, dan wewangian
tertentu.
Suatu saat, muridnya itu mengadu kepada Bayazid, “Tuan Guru,
saya sudah beribadat tiga puluh tahun lamanya. Saya shalat setiap malam dan
puasa setiap hari, tapi anehnya, saya belum mengalami pengalaman ruhani yang
Tuan Guru ceritakan. Saya tak pernah saksikan apa pun yang Tuan gambarkan.”
Bayazid menjawab, “Sekiranya kau beribadat selama tiga ratus
tahun pun, kau takkan mencapai satu butir pun debu mukasyafah dalam hidupmu.”Murid
itu heran, “Mengapa, ya Tuan Guru?” “Karena kau tertutup oleh dirimu,” jawab
Bayazid. “Bisakah kau obati aku agar hijab itu tersingkap?” pinta sang murid. “Bisa,”
ucap Bayazid, “tapi kau takkan melakukannya.” “Tentu saja akan aku lakukan,”
sanggah murid itu.
“Baiklah kalau begitu,” kata Bayazid, “sekarang tanggalkan
pakaianmu. Sebagai gantinya, pakailah baju yang lusuh, sobek, dan
compang-camping. Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang. Pergilah kau ke
pasar, kumpulkan sebanyak mungkin anak-anak kecil di sana. Katakan pada mereka,
“Hai anak- anak, barangsiapa di antara kalian yang mau menampar aku satu kali,
aku beri satu kantung kacang.” Lalu datangilah tempat di mana jamaah kamu
sering mengagumimu. Katakan juga pada mereka, “Siapa yang mau menampar mukaku,
aku beri satu kantung kacang!”
“Subhanallah, masya Allah, lailahailallah,” kata murid itu
terkejut. Bayazid berkata, “Jika kalimat-kalimat suci itu diucapkan oleh orang
kafir, ia berubah menjadi mukmin. Tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh seorang
sepertimu, kau berubah dari mukmin menjadi kafir.” Murid itu keheranan,
“Mengapa bisa begitu?”
Bayazid menjawab, “Karena kelihatannya kau sedang memuji
Allah, padahal sebenarnya kau sedang memuji dirimu. Ketika kau katakan: Tuhan
mahasuci, seakan- akan kau mensucikan Tuhan padahal kau menonjolkan kesucian
dirimu.” “Kalau begitu,” murid itu kembali meminta, “berilah saya nasihat
lain.” Bayazid menjawab, “Bukankah aku sudah bilang, kau takkan mampu
melakukannya!”
Cerita ini mengandung pelajaran yang amat berharga. Bayazid
mengajarkan bahwa orang yang sering beribadat mudah terkena penyakit ujub dan
takabur. “Hati-hatilah kalian dengan ujub,” pesan Iblis. Dahulu, Iblis
beribadat ribuan tahun kepada Allah. Tetapi karena takaburnya terhadap Adam,
Tuhan menjatuhkan Iblis ke derajat yang serendah-rendahnya.
Takabur dapat terjadi karena amal atau kedudukan kita. Kita
sering merasa menjadi orang yang penting dan mulia. Bayazid menyuruh kita
menjadi orang hina agar ego dan keinginan kita untuk menonjol dan dihormati
segera hancur, yang tersisa adalah perasaan tawadhu dan kerendah-hatian. Hanya
dengan itu kita bisa mencapai hadirat Allah swt.
Orang-orang yang suka mengaji juga dapat jatuh kepada ujub.
Mereka merasa telah memiliki ilmu yang banyak.
Suatu hari, seseorang datang kepada Nabi saw, “Ya
Rasulallah, aku rasa aku telah banyak mengetahui syariat Islam. Apakah ada hal
lain yang dapat kupegang teguh?”Nabi menjawab, :”Katakanlah: Tuhanku Allah,
kemudian ber- istiqamah-lah kamu.” Ujub seringkali terjadi di kalangan orang
yang banyak beribadat. Orang sering merasa ibadat yang ia lakukan sudah lebih
dari cukup sehingga ia menuntut Tuhan agar membayar pahala amal yang ia
lakukan. Ia menganggap ibadat sebagai investasi.
Orang yang gemar beribadat cenderung jatuh pada perasaan
tinggi diri. Ibadat dijadikan cara untuk meningkatkan statusnya di tengah
masyarakat. Orang itu akan amat tersinggung bila tidak diberikan tempat yang
memadai statusnya. Sebagai seorang ahli ibadat, ia ingin disambut dalam setiap
majelis dan diberi tempat duduk yang paling utama.
Tulisan ini saya tutup dengan sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh Ahmad dalam musnad-nya; Suatu hari, di depan Rasulullah saw Abu Bakar
menceritakan seorang sahabat yang amat rajin ibadatnya. Ketekunannya
menakjubkan semua orang. Tapi Rasulullah tak memberikan komentar apa-apa. Para
sahabat keheranan. Mereka bertanya-tanya, mengapa Nabi tak menyuruh sahabat
yang lain agar mengikuti sahabat ahli ibadat itu. Tiba-tiba orang yang
dibicarakan itu lewat di hadapan majelis Nabi. Ia kemudian duduk di tempat itu
tanpa mengucapkan salam.
Abu Bakar berkata kepada Nabi, “Itulah orang yang tadi kita
bicarakan, ya Rasulallah.”Nabi hanya berkata, “Aku lihat ada bekas sentuhan setan
di wajahnya.”Nabi lalu mendekati orang itu dan bertanya, “Bukankah kalau kamu
datang di satu majelis kamu merasa bahwa kamulah orang yang paling salih di
majelis itu?”Sahabat yang ditanya menjawab, “Allahumma, na’am. Ya Allah, memang
begitulah aku.” Orang itu lalu pergi meninggalkan majelis Nabi. Setelah itu
Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang mau
membunuh orang itu?”
“Aku,” jawab Abu Bakar. Abu Bakar lalu pergi tapi tak berapa
lama ia kembali lagi, “Ya Rasulallah, bagaimana mungkin aku membunuhnya? Ia
sedang ruku’.” Nabi tetap bertanya, “Siapa yang mau membunuh orang itu?”
Umar bin Khaththab menjawab, “Aku.” Tapi seperti juga Abu
Bakar, ia kembali tanpa membunuh orang itu, “Bagaimana mungkin aku bunuh orang
yang sedang bersujud dan meratakan dahinya di atas tanah?” Nabi masih bertanya,
“Siapa yang akan membunuh orang itu?” Imam Ali bangkit, “Aku.” Ia lalu keluar
dengan membawa pedang dan kembali dengan pedang yang masih bersih, tidak
berlumuran darah, “Ia telah pergi, ya Rasulullah.” Nabi kemudian bersabda,
“Sekiranya engkau bunuh dia. Umatku takkan pecah sepeninggalku….”
Dari kisah ini pun kita dapat mengambil hikmah: Selama di
tengah- tengah kita masih terdapat orang yang merasa dirinya paling salih, paling
berilmu, dan paling benar dalam pendapatnya, pastilah terjadi perpecahan di kalangan
kaum muslimin. Nabi memberikan pelajaran bagi umatnya bahwa perasaan ujub akan
amal salih yang dimiliki adalah penyebab perpecahan di tengah orang Islam. Ujub
menjadi penghalang naiknya manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Penawarnya hanya
satu, belajarlah menghinakan diri kita. Seperti yang dinasihatkan Bayazid Al-Busthami
kepada santrinya.
Langganan:
Postingan (Atom)