Selasa, 02 April 2013

Gegap Gempita Menyambut Kurikulum 2013




D
unia pendidikan mengalami dinamika yang luar biasanya pesatnya. Apalagi setelah terbitnya Undang Udang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kebijakan sertifikasi guru [2006] dengan perekrutan menggunakan sistem portofolio dan Pendidikan Latihan Profesi Guru [PLPG], beberapa tahun berjalan perekrutan portofolio dihapus, dan hanya menggunakan model PLPG dengan perekrutannya melalui tes. Kebijakan sertifikasi guru belum tuntas, menyusul kebijakan Penilaian Kinerja Guru [PKG], PKG belum dilaksanakan muncul lagi kebijakan Uji Kompetensi  Guru [UKG]. Kita sadari sering kali laju kecepatan dinamika pendidikan, lebih cepat daripada kesiapan kita untuk menerima dan mengikuti dinamika perubahan tersebut, namun apapun yang terjadi kita harus selalu mengikutinya, jika tidak ingin digilas oleh dinamika itu sendiri.

Kadang orang bertanya: Quo Vadis Kurikulum Pendidikan Indonesia?. Pada Pada tahun 2004 lahir Kurikulum Berbasis Kompetensi [KBK], KBK berjalan dua tahun disempurnakan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan [KTSP], KTSP ini sebenarnya masih melanjutkan  nuansa kurikulum yang berbasis kompetensi. Kini bahan uji publik Kurikulum 2013 sudah dilaunching, kita semua sudah membacanya. Kemanakah dunia Pendidikan ini akan dibawa?. Dengan melanjutkan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 yang mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu. Filosofi pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai luhur, nilai akademik, kebutuhan peserta didik dan masyarakat, serta Kurikulum berorientasi pada pengembangan kompetensi peserta didik. Strategi peningkatan pembelajaran yang tidak lagi bernuasa teacher oriented, namun lebih pada student oriented dimana pembelajaran yang mengedepankan pengalaman personal melalui Observasi (menyimak, melihat, membaca, mendengar), Bertanya, Asosiasi,  Menyimpulkan,  Mengkomunikasikan, dstnya.

Pada kurikulum 2013 ini terdapat penambahan jumlah jam pelajaran, untuk SD ada penambahan rata-rata 4 jam pelajaran per minggu, SMP ada penambahan 6 jam pelajaran per minggu, SMA ada penambahan 2 jam pelajaran per minggu. Penambahan jumlah jam pelajaran tersebut dengan rasionalitas sebagai berikut: [1] Perubahan proses pembelajaran [dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu] dan proses penilaian [dari berfokus pada pengetahuan melalui penilaian output menjadi berbasis kemampuan melalui penilaian proses dan output] memerlukan penambahan jam pelajaran [2] Kecenderungan akhir-akhir ini banyak negara menambah jam pelajaran [Knowledge is Power Program (KIPP) dan Massachusettes Extended Learning Time (MELT) di AS, Korea Selatan] [3] Perbandingan dengan negara-negara lain menunjukkan jam pelajaran di Indonesia relatif lebih singkat [4] Walaupun pembelajaran tatap muka di Finlandia relatif singkat, tetapi didukung dengan pembelajaran tutorial.

Empat unsur perubahan yang mengemuka pada Kurikulum 2013; [a] standar isi, [b] standar proses, [c] standar kompetensi lulusan dan [d] standar penilaian pendidikan. Perubahan pada ke empat unsur  tersebut akhirnya juga merembet ke perubahan [usulan] struktur kurikulum di SD, SMP, SMA/SMK.  Penjelasan perubahan struktur kurikulum SD sebagai berikut: [a] Berbasis tematik-integratif sampai kelas VI. [b] Menggunakan kompetensi lulusan untuk merumuskan kompetensi inti pada tiap kelas. [c] Menggunakan pendekatan sains dalam proses pembelajaran [mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, mencipta] semua mata pelajaran [d] Menggunakan IPA dan IPS sebagai materi pembahasan pada semua mata pelajaran. [e] Meminimumkan jumlah mata pelajaran dengan hasil dari 10 dapat dikurangai menjadi 6 melalui pengintegrasian beberapa mata pelajaran: -IPA menjadi materi pembahasan pelajaran Bahasa Indonesia , Matematika, dan lain-lain. -IPS menjadi materi pembahasan pelajaran PPKn, Bahasa Indonesia, dan lain-lain. -Muatan lokal menjadi materi pembahasan Seni Budaya dan Prakarya serta Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan. -Mata pelajaran Pengembangan Diri diintegrasikan ke semua mata pelajaran [f] Menempatkan IPA dan IPS pada posisi sewajarnya bagi anak SD yaitu bukan sebagai disiplin ilmu melainkan sebagai sumber kompetensi untuk membentuk sikap ilmuwan dan kepedulian dalam berinteraksi sosial dan dengan alam secara bertanggung jawab. [g] Perbedaan antara IPA/IPS dipisah atau diintegrasikan hanyalah pada apakah buku teksnya terpisah atau jadi satu. Tetapi bila dipisah dapat berakibat beratnya beban guru, kesulitan bagi bahasa Indonesia untuk mencari materi pembahasan yang kontekstual, berjalan sendiri melampaui kemampuan berbahasa peserta didiknya seperti yang terjadi saat ini, dan lain-lain. [h]  Menambah 4 jam pelajaran per minggu akibat perubahan proses pembelajaran dan penilaian.

Penjelasan perubahan struktur kurikulum SMP sebagai berikut: [a] Sama dengan SD, akan disusun berdasarkan kompetensi yang harus dimiliki peserta didik SMP dalam ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan. [b] Menggunakan mata pelajaran sebagai sumber kompetensi dan substansi pelajaran. [c] Menggunakan pendekatan sains dalam proses pembelajaran [mengamati, menanya, menalar, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, mencipta] semua mata pelajaran. [d] Meminimumkan jumlah mata pelajaran dengan hasil dari 12 dapat dikurangai menjadi 10 melalui pengintegrasian beberapa mata pelajaran: -TIK menjadi sarana pembelajaran pada semua mata pelajaran, tidak berdiri sendiri. -Muatan lokal menjadi materi pembahasan Seni Budaya dan Prakarya. -Mata pelajaran Pengembangan Diri diintegrasikan ke semua mata pelajaran. [e] IPA dan IPS dikembangkan sebagai mata pelajaran integrative science dan integrative social studies, bukan sebagai pendidikan disiplin ilmu. Keduanya sebagai pendidikan berorientasi aplikatif, pengembangan kemampuan berpikir, kemampuan belajar, rasa ingin tahu, dan pembangunan sikap peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan sosial dan alam. [f] Bahasa Inggris diajarkan untuk membentuk keterampilan berbahasa. [g] Menambah 6 jam pelajaran per minggu sebagai akibat dari perubahan pendekatan proses pembelajaran dan proses penilaian.

Isu terkait rancangan kurikulum SMA diantaranya adalah: [1] Apakah masih perlu penjurusan di SMA mengingat: - Sudah tidak ada lagi negara yang menganut sistem penjurusan di SMA. - Kesulitan dalam penyetaraan ijazah. - Dapat melanjutkan ke semua jurusan di perguruan tinggi. [b] Tanpa penjurusan akan menyebabkan mata pelajaran menjadi terlalu banyak seperti pada SMA Kelas X saat ini, sehingga diperlukan mata pelajaran pilihan dan mata pelajaran wajib. [c] Perlunya memberi kesempatan bagi mereka yang memiliki kecerdasan diatas ratarata untuk menyelesaikan lebih cepat atau belajar lebih banyak melalui mata pelajaran pilihan. [d] Perlunya ujian nasional yang lebih fleksibel [dapat diambil di kelas XI]. [e] Perlunya integrasi vertikal dengan perguruan tinggi. [f]  Perlunya memperkuat pelajaran bahasa Indonesia, termasuk sastra, terutama menulis dan membaca dengan cepat dan paham. [g] Perlunya meningkatkan tingkat abstraksi mata pelajaran, dan [h] Perlunya membentuk kultur sekolah yang kondusif.

Isu terkait rancangan kurikulum SMA diantaranya adalah: [a] Ujian nasional sebaiknya tahun ke XI sehingga tahun ke XII konsentrasi ke ujian sertifikasi keahlian. [b] Bidang keahlian yang belum sesuai lagi dengan kebutuhan global. [c] Penambahan life and career skills [bukan sebagai mata pelajaran]. [d] Perlunya melibatkan pengguna [industri terkait] dalam penyusunan kurikulum. [e] Pembelajaran SMK berbasis proyek dan sekolah terbuka bagi siswa untuk waktu yang lebih lama dari jam pelajaran. [f] Kesimbangan hard skill/competence dan soft skill/competence. [g] Perlunya membentuk kultur sekolah yang kondusif. [h] Pembagian keahlian yang terlalu rinci sehingga mempersulit pelaksanaannya di lapangan.

Terlepas dari itu semua, pemerintah mengajukan perubahan kurikulum tentunya ada harapan indah yang ingin dicapai dalam upaya memperbaiki kondisi bangsa yang sudah carut marut ini. Penanaman nilai-nilai luhur sebagai fondasi amatlah penting, melihat rusaknya nilai itu sendiri dengan segala perilaku yang dehumanistik. Korupsi, kebohongan, kekerasan, teror, pornografi dan pornoaksi, sikap-sikap hipokrit yang terpampang di depan mata kita.

Sesungguhnya, kendati benang kusut sangat sukar diurai, masih ada sinar terang menyambut kurikulum baru tersebut. Paling tidak, ada lima strategi kreatif untuk menyelesaikan persoalan ini: (1) mengafirmasi seluruh niat baik dan segala nilai luhur di dalam Kurikulum 2013; (2) memberlakukan gerakan paradigma kritis yang dimulai bukan dari atas, tetapi dari kesadaran masing-masing peserta didik; (3) kompetensi dan kualitas daya saing, harus dimaknai sebagai nilai keadaban dan humanisme, bukan bermuara pada tujuan kompetisi absolut dan pragmatisme; (4) para peserta didik, baik itu guru dan siswa adalah manusia yang harus dimanusiakan secara manusiawi, bukan dianggap sebagai obyek; (5) peserta didik berperan aktif dalam agenda pembongkaran proses obyektivasi pendidikan yang dehumanistik.

Pertama, pastilah masih ada nilai kebaikan, kendati garis kebijakan dan program penguasa merupakan agenda politik yang pragmatis. Segala nilai kebaikan inilah yang akan menuntun segala praktik pendidikan kita. Naungan moral akan menerangi para peserta didik dari segala hitam tindak laku yang tidak patut. Artinya, meskipun ketidakpercayaan sudah menjangkiti seluruh rakyat, harus diiringi dengan segala niat baik untuk membangun kembali tembok peradaban yang runtuh. Pembangunan jangka panjang harus tetap menjadi agenda utama. 

Kedua, keseluruhan proses pendidikan adalah humanisasi. Humanisasi berarti, meniadakan segala sistem penguasaan. Dominasi oleh pemilik kekuatan politik harus dinetralisir karena sifatnya yang anti-kemanusiaan. Sementara sebaliknya, obyek yang terdominasi perlu disadarkan bahwa mereka sedang ditindas. Secara jernih, humanisasi berlandaskan pada keadilan kemanusiaan. Semua manusia berhak atas pendidikan, semua manusia berhak atas kemanusiaan. 

Ketiga, marilah para guru dan seluruh peserta didik berperan aktif dalam de-obyektivasi pendidikan yang meminggirkan martabat kemanusiaan. Strategi ini bisa dilakukan dengan cara “mengafirmasi” Kurikulum 2013 menurut tafsiran humanistik masing-masing subyek di akar rumput, bukan dikte, bukan penjajahan, bukan eksploitasi top-down. Semoga dengan berpikir dan bersikap kritis, kita dapat secara sungguh terlibat dalam pembangunan pendidikan yang nyata.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar