D
|
unia pendidikan mengalami
dinamika yang luar biasanya pesatnya. Apalagi setelah terbitnya Undang Udang Republik
Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kebijakan sertifikasi
guru [2006] dengan perekrutan menggunakan sistem portofolio dan Pendidikan
Latihan Profesi Guru [PLPG], beberapa tahun berjalan perekrutan portofolio
dihapus, dan hanya menggunakan model PLPG dengan perekrutannya melalui tes. Kebijakan
sertifikasi guru belum tuntas, menyusul kebijakan Penilaian Kinerja Guru [PKG],
PKG belum dilaksanakan muncul lagi kebijakan Uji Kompetensi Guru [UKG]. Kita sadari sering kali laju kecepatan
dinamika pendidikan, lebih cepat daripada kesiapan kita untuk menerima dan
mengikuti dinamika perubahan tersebut, namun apapun yang terjadi kita harus
selalu mengikutinya, jika tidak ingin digilas oleh dinamika itu sendiri.
Kadang
orang bertanya: Quo Vadis Kurikulum
Pendidikan Indonesia?. Pada Pada tahun 2004 lahir Kurikulum Berbasis Kompetensi
[KBK], KBK berjalan dua tahun disempurnakan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan [KTSP], KTSP ini sebenarnya masih melanjutkan nuansa kurikulum yang berbasis kompetensi.
Kini bahan uji publik Kurikulum 2013 sudah dilaunching, kita semua sudah
membacanya. Kemanakah dunia Pendidikan ini akan dibawa?. Dengan melanjutkan
Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004
yang mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu.
Filosofi pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai luhur, nilai akademik,
kebutuhan peserta didik dan masyarakat, serta Kurikulum berorientasi pada
pengembangan kompetensi peserta didik. Strategi peningkatan pembelajaran yang
tidak lagi bernuasa teacher oriented, namun lebih pada student oriented dimana
pembelajaran yang mengedepankan pengalaman personal melalui Observasi
(menyimak, melihat, membaca, mendengar), Bertanya, Asosiasi, Menyimpulkan,
Mengkomunikasikan, dstnya.
Pada
kurikulum 2013 ini terdapat penambahan jumlah jam pelajaran, untuk SD ada
penambahan rata-rata 4 jam pelajaran per minggu, SMP ada penambahan 6 jam
pelajaran per minggu, SMA ada penambahan 2 jam pelajaran per minggu. Penambahan
jumlah jam pelajaran tersebut dengan rasionalitas sebagai berikut: [1] Perubahan proses pembelajaran [dari
siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu] dan proses penilaian [dari berfokus pada pengetahuan melalui penilaian
output menjadi berbasis kemampuan melalui penilaian proses dan output]
memerlukan penambahan jam pelajaran [2] Kecenderungan akhir-akhir ini banyak negara menambah jam pelajaran [Knowledge
is Power Program (KIPP) dan Massachusettes Extended Learning Time (MELT)
di AS, Korea Selatan] [3] Perbandingan
dengan negara-negara lain menunjukkan jam pelajaran di Indonesia relatif
lebih singkat [4] Walaupun pembelajaran tatap muka di Finlandia relatif
singkat, tetapi didukung dengan pembelajaran tutorial.
Empat
unsur perubahan yang mengemuka pada Kurikulum 2013; [a] standar isi, [b]
standar proses, [c] standar kompetensi lulusan dan [d] standar penilaian
pendidikan. Perubahan pada ke empat unsur
tersebut akhirnya juga merembet ke perubahan [usulan] struktur kurikulum
di SD, SMP, SMA/SMK. Penjelasan
perubahan struktur kurikulum SD sebagai berikut: [a] Berbasis
tematik-integratif sampai kelas VI. [b] Menggunakan kompetensi lulusan untuk
merumuskan kompetensi inti pada tiap kelas. [c] Menggunakan pendekatan sains
dalam proses pembelajaran [mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan,
menyimpulkan, mencipta] semua mata pelajaran [d] Menggunakan IPA dan IPS
sebagai materi pembahasan pada semua mata pelajaran. [e] Meminimumkan jumlah
mata pelajaran dengan hasil dari 10 dapat dikurangai menjadi 6 melalui pengintegrasian
beberapa mata pelajaran: -IPA menjadi materi pembahasan pelajaran Bahasa
Indonesia , Matematika, dan lain-lain. -IPS menjadi materi pembahasan pelajaran
PPKn, Bahasa Indonesia, dan lain-lain. -Muatan lokal menjadi materi pembahasan
Seni Budaya dan Prakarya serta Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan. -Mata
pelajaran Pengembangan Diri diintegrasikan ke semua mata pelajaran [f]
Menempatkan IPA dan IPS pada posisi sewajarnya bagi anak SD yaitu bukan sebagai
disiplin ilmu melainkan sebagai sumber kompetensi untuk membentuk sikap ilmuwan
dan kepedulian dalam berinteraksi sosial dan dengan alam secara bertanggung
jawab. [g] Perbedaan antara IPA/IPS dipisah atau diintegrasikan hanyalah pada
apakah buku teksnya terpisah atau jadi satu. Tetapi bila dipisah dapat
berakibat beratnya beban guru, kesulitan bagi bahasa Indonesia untuk mencari materi
pembahasan yang kontekstual, berjalan sendiri melampaui kemampuan berbahasa
peserta didiknya seperti yang terjadi saat ini, dan lain-lain. [h] Menambah 4 jam pelajaran per minggu akibat
perubahan proses pembelajaran dan penilaian.
Penjelasan
perubahan struktur kurikulum SMP sebagai berikut: [a] Sama dengan SD, akan
disusun berdasarkan kompetensi yang harus dimiliki peserta didik SMP dalam
ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan. [b] Menggunakan mata pelajaran
sebagai sumber kompetensi dan substansi pelajaran. [c] Menggunakan pendekatan
sains dalam proses pembelajaran [mengamati, menanya, menalar, mencoba,
mengolah, menyajikan, menyimpulkan, mencipta] semua mata pelajaran. [d] Meminimumkan
jumlah mata pelajaran dengan hasil dari 12 dapat dikurangai menjadi 10 melalui
pengintegrasian beberapa mata pelajaran: -TIK menjadi sarana pembelajaran pada
semua mata pelajaran, tidak berdiri sendiri. -Muatan lokal menjadi materi
pembahasan Seni Budaya dan Prakarya. -Mata pelajaran Pengembangan Diri
diintegrasikan ke semua mata pelajaran. [e] IPA dan IPS dikembangkan sebagai
mata pelajaran integrative science dan integrative social studies,
bukan sebagai pendidikan disiplin ilmu. Keduanya sebagai pendidikan berorientasi
aplikatif, pengembangan kemampuan berpikir, kemampuan belajar, rasa ingin tahu,
dan pembangunan sikap peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan sosial
dan alam. [f] Bahasa Inggris diajarkan untuk membentuk keterampilan berbahasa.
[g] Menambah 6 jam pelajaran per minggu sebagai akibat dari perubahan
pendekatan proses pembelajaran dan proses penilaian.
Isu
terkait rancangan kurikulum SMA diantaranya adalah: [1] Apakah masih perlu
penjurusan di SMA mengingat: - Sudah tidak ada lagi negara yang menganut sistem
penjurusan di SMA. - Kesulitan dalam penyetaraan ijazah. - Dapat melanjutkan ke
semua jurusan di perguruan tinggi. [b] Tanpa penjurusan akan menyebabkan mata
pelajaran menjadi terlalu banyak seperti pada SMA Kelas X saat ini, sehingga diperlukan
mata pelajaran pilihan dan mata pelajaran wajib. [c] Perlunya memberi
kesempatan bagi mereka yang memiliki kecerdasan diatas ratarata untuk
menyelesaikan lebih cepat atau belajar lebih banyak melalui mata pelajaran
pilihan. [d] Perlunya ujian nasional yang lebih fleksibel [dapat diambil di
kelas XI]. [e] Perlunya integrasi vertikal dengan perguruan tinggi. [f] Perlunya memperkuat pelajaran bahasa
Indonesia, termasuk sastra, terutama menulis dan membaca dengan cepat dan paham.
[g] Perlunya meningkatkan tingkat abstraksi mata pelajaran, dan [h] Perlunya
membentuk kultur sekolah yang kondusif.
Isu
terkait rancangan kurikulum SMA diantaranya adalah: [a] Ujian nasional
sebaiknya tahun ke XI sehingga tahun ke XII konsentrasi ke ujian sertifikasi
keahlian. [b] Bidang keahlian yang belum sesuai lagi dengan kebutuhan global.
[c] Penambahan life and career skills [bukan sebagai mata pelajaran]. [d]
Perlunya melibatkan pengguna [industri terkait] dalam penyusunan kurikulum. [e]
Pembelajaran SMK berbasis proyek dan sekolah terbuka bagi siswa untuk waktu
yang lebih lama dari jam pelajaran. [f] Kesimbangan hard skill/competence dan
soft skill/competence. [g] Perlunya membentuk kultur sekolah yang kondusif. [h]
Pembagian keahlian yang terlalu rinci sehingga mempersulit pelaksanaannya di
lapangan.
Terlepas
dari itu semua, pemerintah mengajukan perubahan kurikulum tentunya ada harapan indah
yang ingin dicapai dalam upaya memperbaiki kondisi bangsa yang sudah carut
marut ini. Penanaman nilai-nilai luhur sebagai fondasi amatlah penting, melihat
rusaknya nilai itu sendiri dengan segala perilaku yang dehumanistik. Korupsi,
kebohongan, kekerasan, teror, pornografi dan pornoaksi, sikap-sikap hipokrit
yang terpampang di depan mata kita.
Sesungguhnya,
kendati benang kusut sangat sukar diurai, masih ada sinar terang menyambut
kurikulum baru tersebut. Paling tidak, ada lima strategi kreatif untuk
menyelesaikan persoalan ini: (1) mengafirmasi seluruh niat baik dan segala
nilai luhur di dalam Kurikulum 2013; (2) memberlakukan gerakan paradigma kritis
yang dimulai bukan dari atas, tetapi dari kesadaran masing-masing peserta
didik; (3) kompetensi dan kualitas daya saing, harus dimaknai sebagai nilai
keadaban dan humanisme, bukan bermuara pada tujuan kompetisi absolut dan
pragmatisme; (4) para peserta didik, baik itu guru dan siswa adalah manusia
yang harus dimanusiakan secara manusiawi, bukan dianggap sebagai obyek; (5)
peserta didik berperan aktif dalam agenda pembongkaran proses obyektivasi pendidikan
yang dehumanistik.
Pertama,
pastilah masih ada nilai kebaikan, kendati garis kebijakan dan program penguasa
merupakan agenda politik yang pragmatis. Segala nilai kebaikan inilah yang akan
menuntun segala praktik pendidikan kita. Naungan moral akan menerangi para
peserta didik dari segala hitam tindak laku yang tidak patut. Artinya, meskipun
ketidakpercayaan sudah menjangkiti seluruh rakyat, harus diiringi dengan segala
niat baik untuk membangun kembali tembok peradaban yang runtuh. Pembangunan jangka
panjang harus tetap menjadi agenda utama.
Kedua,
keseluruhan proses pendidikan adalah humanisasi. Humanisasi berarti, meniadakan
segala sistem penguasaan. Dominasi oleh pemilik kekuatan politik harus
dinetralisir karena sifatnya yang anti-kemanusiaan. Sementara sebaliknya, obyek
yang terdominasi perlu disadarkan bahwa mereka sedang ditindas. Secara jernih,
humanisasi berlandaskan pada keadilan kemanusiaan. Semua manusia berhak atas
pendidikan, semua manusia berhak atas kemanusiaan.
Ketiga,
marilah para guru dan seluruh peserta didik berperan aktif dalam de-obyektivasi
pendidikan yang meminggirkan martabat kemanusiaan. Strategi ini bisa dilakukan
dengan cara “mengafirmasi” Kurikulum 2013 menurut tafsiran humanistik
masing-masing subyek di akar rumput, bukan dikte, bukan penjajahan, bukan
eksploitasi top-down. Semoga dengan berpikir dan bersikap kritis, kita dapat
secara sungguh terlibat dalam pembangunan pendidikan yang nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar