Berikut ini sebuah cerita dari Bayazid Al-Busthami, yang insya Allah, dapat
kita ambil pelajaran daripadanya; Di samping seorang sufi, Bayazid juga adalah
pengajar tasawuf. Di antara jamaahnya, ada seorang santri yang juga memiliki
murid yang banyak. Santri itu juga menjadi kyai bagi jamaahnya sendiri. Karena
telah memiliki murid, santri ini selalu memakai pakaian yang menunjukkan
kesalihannya, seperti baju putih, serban, dan wewangian tertentu.
Suatu saat, muridnya itu mengadu kepada Bayazid, “Tuan Guru, saya sudah
beribadat tiga puluh tahun lamanya. Saya shalat setiap malam dan puasa setiap
hari, tapi anehnya, saya belum mengalami pengalaman ruhani yang Tuan Guru
ceritakan. Saya tak pernah saksikan apa pun yang Tuan gambarkan.”
Bayazid menjawab, “Sekiranya kau beribadat selama tiga ratus tahun pun, kau
takkan mencapai satu butir pun debu mukasyafah dalam hidupmu.”Murid itu heran,
“Mengapa, ya Tuan Guru?” “Karena kau tertutup oleh dirimu,” jawab Bayazid.
“Bisakah kau obati aku agar hijab itu tersingkap?” pinta sang murid. “Bisa,”
ucap Bayazid, “tapi kau takkan melakukannya.” “Tentu saja akan aku lakukan,”
sanggah murid itu.
“Baiklah kalau begitu,” kata Bayazid, “sekarang tanggalkan pakaianmu.
Sebagai gantinya, pakailah baju yang lusuh, sobek, dan compang-camping.
Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang. Pergilah kau ke pasar, kumpulkan
sebanyak mungkin anak-anak kecil di sana. Katakan pada mereka, “Hai anak- anak,
barangsiapa di antara kalian yang mau menampar aku satu kali, aku beri satu
kantung kacang.” Lalu datangilah tempat di mana jamaah kamu sering mengagumimu.
Katakan juga pada mereka, “Siapa yang mau menampar mukaku, aku beri satu
kantung kacang!”
“Subhanallah, masya Allah, lailahailallah,” kata murid itu terkejut.
Bayazid berkata, “Jika kalimat-kalimat suci itu diucapkan oleh orang kafir, ia
berubah menjadi mukmin. Tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh seorang
sepertimu, kau berubah dari mukmin menjadi kafir.” Murid itu keheranan,
“Mengapa bisa begitu?”
Bayazid menjawab, “Karena kelihatannya kau sedang memuji Allah, padahal
sebenarnya kau sedang memuji dirimu. Ketika kau katakan: Tuhan mahasuci,
seakan- akan kau mensucikan Tuhan padahal kau menonjolkan kesucian dirimu.”
“Kalau begitu,” murid itu kembali meminta, “berilah saya nasihat lain.” Bayazid
menjawab, “Bukankah aku sudah bilang, kau takkan mampu melakukannya!”
Cerita ini mengandung pelajaran yang amat berharga. Bayazid mengajarkan
bahwa orang yang sering beribadat mudah terkena penyakit ujub dan takabur.
“Hati-hatilah kalian dengan ujub,” pesan Iblis. Dahulu, Iblis beribadat ribuan
tahun kepada Allah. Tetapi karena takaburnya terhadap Adam, Tuhan menjatuhkan
Iblis ke derajat yang serendah-rendahnya.
Takabur dapat terjadi karena amal atau kedudukan kita. Kita sering merasa
menjadi orang yang penting dan mulia. Bayazid menyuruh kita menjadi orang hina
agar ego dan keinginan kita untuk menonjol dan dihormati segera hancur, yang
tersisa adalah perasaan tawadhu dan kerendah-hatian. Hanya dengan itu kita bisa
mencapai hadirat Allah swt.
Orang-orang yang suka mengaji juga dapat jatuh kepada ujub. Mereka merasa
telah memiliki ilmu yang banyak.
Suatu hari, seseorang datang kepada Nabi saw, “Ya Rasulallah, aku rasa aku
telah banyak mengetahui syariat Islam. Apakah ada hal lain yang dapat kupegang
teguh?”Nabi menjawab, :”Katakanlah: Tuhanku Allah, kemudian ber- istiqamah-lah
kamu.” Ujub seringkali terjadi di kalangan orang yang banyak beribadat. Orang
sering merasa ibadat yang ia lakukan sudah lebih dari cukup sehingga ia
menuntut Tuhan agar membayar pahala amal yang ia lakukan. Ia menganggap ibadat
sebagai investasi.
Orang yang gemar beribadat cenderung jatuh pada perasaan tinggi diri.
Ibadat dijadikan cara untuk meningkatkan statusnya di tengah masyarakat. Orang
itu akan amat tersinggung bila tidak diberikan tempat yang memadai statusnya.
Sebagai seorang ahli ibadat, ia ingin disambut dalam setiap majelis dan diberi
tempat duduk yang paling utama.
Tulisan ini saya tutup dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad
dalam musnad-nya; Suatu hari, di depan Rasulullah saw Abu Bakar menceritakan
seorang sahabat yang amat rajin ibadatnya. Ketekunannya menakjubkan semua
orang. Tapi Rasulullah tak memberikan komentar apa-apa. Para sahabat keheranan.
Mereka bertanya-tanya, mengapa Nabi tak menyuruh sahabat yang lain agar
mengikuti sahabat ahli ibadat itu. Tiba-tiba orang yang dibicarakan itu lewat
di hadapan majelis Nabi. Ia kemudian duduk di tempat itu tanpa mengucapkan
salam.
Abu Bakar berkata kepada Nabi, “Itulah orang yang tadi kita bicarakan, ya
Rasulallah.”Nabi hanya berkata, “Aku lihat ada bekas sentuhan setan di
wajahnya.”Nabi lalu mendekati orang itu dan bertanya, “Bukankah kalau kamu
datang di satu majelis kamu merasa bahwa kamulah orang yang paling salih di
majelis itu?”Sahabat yang ditanya menjawab, “Allahumma, na’am. Ya Allah, memang
begitulah aku.” Orang itu lalu pergi meninggalkan majelis Nabi. Setelah itu
Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang mau
membunuh orang itu?”
“Aku,” jawab Abu Bakar. Abu Bakar lalu pergi tapi tak berapa lama ia
kembali lagi, “Ya Rasulallah, bagaimana mungkin aku membunuhnya? Ia sedang
ruku’.” Nabi tetap bertanya, “Siapa yang mau membunuh orang itu?”
Umar bin Khaththab menjawab, “Aku.” Tapi seperti juga Abu Bakar, ia kembali
tanpa membunuh orang itu, “Bagaimana mungkin aku bunuh orang yang sedang
bersujud dan meratakan dahinya di atas tanah?” Nabi masih bertanya, “Siapa yang
akan membunuh orang itu?” Imam Ali bangkit, “Aku.” Ia lalu keluar dengan
membawa pedang dan kembali dengan pedang yang masih bersih, tidak berlumuran
darah, “Ia telah pergi, ya Rasulullah.” Nabi kemudian bersabda, “Sekiranya
engkau bunuh dia. Umatku takkan pecah sepeninggalku….”
Dari kisah ini pun kita dapat mengambil hikmah: Selama di tengah- tengah
kita masih terdapat orang yang merasa dirinya paling salih, paling berilmu, dan
paling benar dalam pendapatnya, pastilah terjadi perpecahan di kalangan kaum
muslimin. Nabi memberikan pelajaran bagi umatnya bahwa perasaan ujub akan amal
salih yang dimiliki adalah penyebab perpecahan di tengah orang Islam. Ujub
menjadi penghalang naiknya manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Penawarnya
hanya satu, belajarlah menghinakan diri kita. Seperti yang dinasihatkan Bayazid
Al-Busthami kepada santrinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar