Selasa, 02 April 2013

Senang di Dunia, Senang di Akhirat




Hampir setiap malam, di teras rumah yang berada di depan rumah saya -maksud saya:
rumah kontrakan saya- di daerah pinggiran Jakarta, beberapa pemuda selalu menghabiskan
waktu selama beberapa jam untuk bersenang-senang: menikmati lintingan ganja. Duduk
melingkar sambil membicarakan apa saja.

Wajah-wajah mereka kusam. Mata di wajah mereka merah. Suara-suara mereka terdengar
berat khas orang mabuk. Terkadang tertawa terbahak-bahak. Kencang. Dalam kondisi seperti
itu tentu saja mereka tidak bisa diharapkan untuk memahami suasana. Justru kami -saya dan
beberapa penghuni kontrakan lain, para pendatang- seolah-olah yang diharuskan memahami
kesenangan para pemuda setempat itu.

Membiarkan mereka meski kegaduhan mereka terkadang mengganggu. Apalagi rumah yang
terasnya mereka tempati untuk nongkrong, penghuninya adalah keluarga muda yang memiliki
bayi baru berumur sekian bulan. Mungkin, para pemuda itu berpikir: kami tidak akan berbuat
macam-macam jika kalian membiarkan kami menikmati kesenangan kami. Padahal dengan
seperti itu pun mereka sudah berbuat macam-macam.
Mereka akan bubar jika lintingan-lintingan ganja itu telah habis. Set
elah itu mereka melanjutkan dengan kesenangan yang lain, yaitu bermain remi sambil berjudi
kecil-kecilan, sampai dini hari. Hampir setiap hari mereka seperti itu. Kecuali jika mereka
kehabisan 'bekal'. Untuk beberapa hari, teras rumah yang berada di depan rumah saya itu
akan sepi. Setelah bekal kembali terkumpul, mereka pun melanjutkan kesenangan mereka.

Setiap kali melihat para pemuda itu menikmati kesenangan mereka, saya selalu teringat kisah
dalam al-Risslah al-Qusyayriyyah fi 'Ilm al-Tashawwuf, sebuah kitab tentang tasawuf yang
telah berusia lebih dari seribu tahun karya Abu Qasim al-Qusyairi.

Suatu ketika, seorang sufi bernama Ma'ruf al-Kurkhi sedang duduk-duduk bersama murid-
muridnya. Kemudian, lewatlah rombongan yang tampaknya sedang merayakan sesuatu.
Mereka memainkan alat-alat musik dan bernyanyi-nyanyi sambil meminum minuman keras.
"Lihatlah orang-orang itu," kata salah seorang muridnya. "Mereka berbuat maksiat secara
terang-terangan. Mereka tidak malu kepada Tuhan. Maka, apalagi kepada sesama manusia."
"Doakanlah mereka agar celaka," kata si murid kepada Ma'ruf.
Di mana-mana, guru akan selalu lebih bijak daripada murid-muridnya. Sebab itulah orang
Jawa mengatakan, 'guru' adalah singkatan dari 'digugu lan ditiru' yang artinya 'dituruti dan
diteladani'. Jika ada orang yang dianggap guru tapi tak berperilaku selayaknya guru, sehingga
tak patut digugu lan ditiru, ia akan tetap menjadi guru, hanya saja dengan singkatan yang
berbeda, yaitu 'guru' singkatan dari 'wagu tur saru' yang artinya 'tak pantas dan cabul'.

Ma'ruf al-Kurkhi kemudian mengangkat tangannya. Ia berdoa, "Ya Tuhanku! Seperti mereka
bisa bersenang-senang di dunia ini, buatlah mereka bisa bersenang-senang di akhirat nanti."
"Kami tidak memintamu berdoa seperti itu," kata si murid.

Ma'ruf al-Kurkhi menjawab, "Jika di akhirat kelak mereka bisa bersenang-senang, artinya
Tuhan mengampuni maksiat mereka di dunia."

Ma'ruf ingin mengajarkan kepada para muridnya bahwa dunia adalah tempat kemungkinan-
kemungkinan. Apa yang tampak buruk tidak selalu akan berakhir tetap dalam kondisi buruk.
Sebab itu, ia tak perlu dikutuk.

Itulah yang disebut dengan al-raja' dalam ilmu tasawuf, yaitu mengharap segala sesuatu
menjadi baik, atau berakhir dengan kebaikan. Orang yang menjaga al-raja' dalam dirinya
tidak akan pernah merasa puas dengan kebaikan, dan sebab itu ia tidak mengutuk keburukan,
tapi berharap keburukan itu akan menjadi atau berakhir dengan kebaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar