Selasa, 02 April 2013

Sayidatina Fatimah r.ha




Dia besar dalam suasana kesusahan. Ibundanya pergi ketika usianya terlalu muda dan masih memerlukan kasih sayang seorang ibu. Sejak itu, dialah yang mengambil alih tugas mengurus rumahtangga seperti memasak, mencuci dan menguruskan keperluan ayahandanya. Di balik kesibukan itu, dia juga adalah seorang yang paling kuat beribadah. Keletihan yang ditanggung akibat seharian bekerja menggantikan tugas ibunya yang telah pergi itu, tidak pula menghalang Sayidatina Fatimah daripada bermunajah dan beribadah kepada Allah SWT. Malam- malam yang dilalui, diisi dengan tahajud, zikir dan siangnya pula dengan sembahyang, puasa, membaca Al Quran dan lain-lain. Setiap hari, suara halusnya mengalunkan irama Al Quran.

Di waktu umurnya mencapai 18 tahun, dia dikawinkan dengan pemuda yang sangat miskin hidupnya.
Bahkan karena kemiskinan itu, untuk membayar mas kawin pun suaminya tidak mampu lalu dibantu
oleh Rasulullah SAW.
Setelah berkawin kehidupannya berjalan dalam suasana yang amat sederhana, gigih dan penuh ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya. Digelari Singa Allah, suaminya Sayidina Ali merupakan orang
kepercayaan Rasulullah SAW yang diamanahkan untuk berada di barisan depan dalam tentera Islam.
Maka dari itu, seringlah Sayidatina Fatimah ditinggalkan oleh suaminya yang pergi berperang untuk
berbulan-bulan lamanya. Namun dia tetap ridho dengan suaminya. Isteri mana yang tidak
mengharapkan belaian mesra daripada seorang suami. Namun bagi Sayidatina Fatimah r.ha, saat-saat
berjauhan dengan suami adalah satu kesempatan berdampingan dengan Allah SWT untuk mencari
kasih-Nya, melalui ibadah-ibadah yang dibangunkan.

Sepanjang kepergian Sayidina Ali itu, hanya anak-anak yang masih kecil menjadi temannya. Nafkah
untuk dirinya dan anak-anaknya Hassan, Hussin, Muhsin, Zainab dan Umi Kalsum diusahakan sendiri.
Untuk mendapatkan air, berjalanlah dia sejauh hampir dua batu dan mengambilnya dari sumur yang 40
hasta dalamnya, di tengah teriknya matahari padang pasir. Kadangkala dia lapar sepanjanghari. Sering
dia berpuasa dan tubuhnya sangat kurus hingga menampakkan tulang di dadanya.

Pernah suatu hari, ketika dia sedang tekun bekerja di sisi batu pengisar gandum, Rasulullah datang
berkunjung ke rumahnya. Sayidatina Fatimah yang amat keletihan ketika itu lalu menceritakan
kesusahan hidupnya itu kepada Rasulullah SAW. Betapa dirinya sangat letih bekerja, mengangkat air,
memasak serta merawat anak-anak. Dia berharap agar Rasulullah dapat menyampaikan kepada Sayidina
Ali, kalau mungkin boleh disediakan untuknya seorang pembantu rumah. Rasulullah saw merasa terharu
terhadap penanggungan anaknya itu. Namun baginda amat tahu, sesungguhnya Allah memang
menghendaki kesusahan bagi hamba-Nya sewaktu di dunia untuk membeli kesenangan di akhirat.
Mereka yang rela bersusah payah dengan ujian di dunia demi mengharapkan keridhoan-Nya, mereka
inilah yang mendapat tempat di sisi-Nya. Lalu dibujuknya Fatimah r.ha sambil memberikan harapan
dengan janji-janji Allah. Baginda mengajarkan zikir, tahmid dan takbir yang apabila diamalkan, segala
penanggungan dan bebanan hidup akan terasa ringan.

Ketaatannya kepada Sayidina Ali menyebabkan Allah SWT mengangkat derajatnya. Sayidatina
Fatimah tidak pernah mengeluh dengan kekurangan dan kemiskinan keluarga mereka. Tidak juga dia
meminta-minta hingga menyusah-nyusahkan suaminya.
Dalam pada itu, kemiskinan tidak menghilang Sayidatina Fatimah untuk selalu bersedekah. Dia tidak
sanggup untuk kenyang sendiri apabila ada orang lain yang kelaparan. Dia tidak rela hidup senang
dikala orang lain menderita. Bahkan dia tidak pernah membiarkan pengemis melangkah dari pintu
rumahnya tanpa memberikan sesuatu meskipun dirinya sendiri sering kelaparan. Memang cocok sekali
pasangan Sayidina Ali ini karena Sayidina Ali sendiri lantaran kemurahan hatinya sehingga digelar
sebagai 'Bapa bagi janda dan anak yatim di Madinah.

Namun, pernah suatu hari, Sayidatina Fatimah telah menyebabkan Sayidina Ali tersentuh hati dengan
kata-katanya. Menyadari kesalahannya, Sayidatina Fatimah segera meminta maaf berulang-ulang kali.
Ketika dilihatnya raut muka suaminya tidak juga berubah, lalu dengan berlari-lari bersama anaknya
mengelilingi Sayidina Ali. Tujuh puluh kali dia 'tawaf' sambil merayu-rayu memohon dimaafkan.
Melihatkan aksi Sayidatina Fatimah itu, tersenyumlah Sayidina Ali lantas memaafkan isterinya itu.
"Wahai Fatimah, kalaulah dikala itu engkau mati sedang Ali tidak memaafkanmu, niscaya aku tidak
akan menyembahyangkan jenazahmu," Rasulullah SAW memberi nasehat kepada puterinya itu ketika
masalah itu sampai ke telinga baginda.

Begitu tinggi kedudukan seorang suami yang ditetapkan Allah SWT sebagai pemimpin bagi seorang
isteri. Betapa seorang isteri itu perlu berhati-hati dan sopan di saat berhadapan dengan suami. Apa yang
dilakukan Sayidatina Fatimah itu bukanlah disengaja, bukan juga dia membentak - bentak, marah-
marah, meninggikan suara, bermasam muka, atau lain-lain yang menyusahkan Sayidina Ali meskipun
demikian Rasulullah SAW berkata begitu terhadap Fatimah.

Ketika perang Uhud, Sayidatina Fatimah ikut merawat luka Rasulullah. Dia juga turut bersama
Rasulullah semasa peristiwa penawanan Kota Makkah dan ketika ayahandanya mengerjakan 'Haji
Wada' pada akhir tahun 11 Hijrah. Dalam perjalanan haji terakhir ini Rasulullah SAW telah jatuh sakit.
Sayidatina Fatimah tetap di sisi ayahandanya. Ketika itu Rasulullah membisikkan sesuatu ke telinga
Fatimah r.ha membuatnya menangis, kemudian Nabi SAW membisikkan sesuatu lagi yang membuatnya
tersenyum.

Dia menangis karena ayahandanya telah membisikkan kepadanya berita kematian baginda. Namun,
sewaktu ayahandanya menyatakan bahwa dialah orang pertama yang akan berkumpul dengan baginda
di alam baqa', gembiralah hatinya. Sayidatina Fatimah meninggal dunia enam bulan setelah kewafatan
Nabi SAW, dalam usia 28 tahun dan dimakamkan di Perkuburan Baqi', Madinah.

Demikianlah wanita utama, agung dan namanya harum tercatat dalam al-Quran, disusahkan hidupnya
oleh Allah SWT. Sengaja dibuat begitu oleh Allah kerana Dia tahu bahawa dengan kesusahan itu,
hamba-Nya akan lebih hampir kepada-Nya. Begitulah juga dengan kehidupan wanita-wanita agung
yang lain. Mereka tidak sempat berlaku sombong serta membangga diri atau bersenang-senang.
Sebaliknya, dengan kesusahan-kesusahan itulah mereka dididik oleh Allah untuk senantiasa merasa
sabar, ridho, takut dengan dosa, tawadhuk (merendahkan diri), tawakkal dan lain-lain. Ujian-ujian
itulah yang sangat mendidik mereka agar bertaqwa kepada Allah SWT. Justru, wanita yang sukses di
dunia dan di akhirat adalah wanita yang hatinya dekat dengan Allah, merasa terhibur dalam melakukan
ketaatan terhadap-Nya, dan amat bersungguh-sungguh menjauhi larangan-Nya, biarpun diri mereka
menderita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar