Jumat, 06 Januari 2012

Sepiring Nasi Penuh Cinta

Pada hari itu, Fani dinasehati ibunya, karena sangat emosional, Fani pergi meninggalkan rumah, mengikuti hati yang emosi, tak terasa langkah kakinya telah jauh meninggalkan rumah kampung halamannya, padahal ia tak membawa apa pun. 

Entah ini telah sampai daerah mana ia tidak tau. Yang jelas, telah jauh dari tempat tinggalnya. Haus—dahaga mulai terasa, lapar mulai menggelitik perutnya yang buncit. Namun ia tetap melangkahkan kakinya satu langkah demi satu langkah walaupun terasa beratnya, perjalanan mulai membosankan dan melelahkan, berhentilah di suatu jalan, ia baru menyadari bahwa ia sama sekali tidak membawa bekal apapun, apalagi membawa uang. Kelelahan mulai terasa, ingin rasanya istirahat walau sejenak. Akhirnya ia berhenti sejenak di dekat rumah makan, ia mencium harumnya aroma masakan. Ia ingin sekali memesan sepiring nasi, tetapi ia tidak mempunyai uang. Ia tidak mungkin akan meminta-minta, mulutnya yang mungil tak kuasa untuk mengatakan ”minta sepiring nasi”, tak mungkin itu ia lakukan.

Pemilik Rumah Makan melihat Fani berdiri cukup lama di depan etalasenya, lalau bertanya, “Nona, apakah kau ingin sepiring nasi?” “Tetapi, aku tidak membawa uang,” jawab Fani dengan malu-malu. 

“Tidak apa-apa, aku akan memberimu sepiring nasi,” jawab pemilik Rumah Makan. “Silahkan duduk, aku akan menghidangkannya untukmu.” 

Tidak lama kemudian, pemilik Rumah Makan itu mengantarkan sepiring nasi dengan lauk pauknya. Fani segera makan dengan nikmatnya dan kemudian air matanya mulai berlinang. “Ada apa Nona?” tanya pemilik Rumah Ma-kan. 

“Tidak apa-apa. Aku hanya terharu,” jawab Fani sambil mengeringkan air matanya.
“Bahkan, seorang yang baru kukenal pun memberiku sepiring nasi! Tapi,…. Ibuku sendiri, setelah bertengkar denganku, mengusirku dari rumah dan mengatakan kepadaku agar jangan kembali lagi ke rumah. 

Bapak seorang yang baru kukenal, tetapi begitu peduli denganku diban-dingkan dengan ibu kandungku sendiri,” katanya kepada si pemilik Rumah Makan.
Pemilik Rumah Makan itu setelah mendengar perkataan Fani, menarik napas panjang, dan berkata, “Nona, mengapa kau berpikir seperti itu?. 

Renungkanlah hal ini, aku hanya memberimu sepiring nasi dan kau begitu terharu. Ibumu telah memasak makanan untukmu saat kau masih kecil sampai saat ini, mengapa kau tidak berterima kasih kepadanya? Dan kau malah bertengkar dengannya.” 

Fani terhenyak mendengar hal tersebut. “Mengapa aku tidak berpikir tentang hal tersebut? Untuk sepiring nasi dari orang yang baru kukenal aku begitu berterima kasih, tetapi kepada ibuku yang telah memasak makanan untukku selama bertahun-tahun, aku bahkan tidak memperlihakan kepe-dulianku kepadanya. Dan hanya karena persoalan sepele, aku bertengkar dengannya.” 

Fani menghabiskan nasinya dengan cepat. Lalu ia menguatkan dirinya untuk segera pulang ke rumahnya. Sambil berjalan ke rumah, ia memikirkan kata-kata yang harus diucapkannya kepada ibunya. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengatakan, “Ibu,maafkan aku, aku tahu bahwa aku bersalah.” 

Begitu sampai di depan pintu, ia melihat ibunya dengan wajah letih dan cemas, karena telah mencarinya ke semua tempat. Ketika ibunya melihat Fani, kalimat pertama yang keluar dari mulut ibunya, “Fani, cepat masuk, ibu telah menyiapkan makan malam untukmu dan makanan itu akan menjadi dingin jika kau tidak segera mamakannya.” 

Fani sangat terharu melihat kasih ibunya yang begitu besar kepadanya, ia tidak dapat menahan air matanya dan ia menangis di hadapan ibunya. 

Sekali waktu, mungkin kita akan sangat berterima kasih kepada orang lain di sekitar kita untuk suatu pertolongan kecil yang diberikannya kepada kita. Tetapi, kepada orang yang sangat dekat dengan kita, khususnya orang tua kita, pernahkah kita berpikir untuk berterima kasih kepada mereka yang telah merawat, membesarkan, mendidik dan melimpahkan kasih sayangnya kepada kita???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar