Akarnya menghujam ke tanah, pohon dan daunnya
menjulang ke angkasa. Nampak gagah, tinggi dan tegap serta pohonnya pun sangat
kokoh. Setelah sekitar 5 tahun s.d. 10 tahun barulah mereka menghasilkan buah. Itulah
pohon nyiur atau orang juga menyebutkan pohon kelapa.
Untuk meraih penuh kebermaknaan, jalan panjang
meski dilewatinya. Simaklah perjalanan panjang buah kelapa sampai bisa
bermanfaat bagi kehidupan kita. Petani pemilik kebun kelapa perlu mengerahkan
seluruh powernya untuk memanjat pohon setinggi 10 meter atau 15 meter bahkan
ada yang lebih tinggi lagi, agar dapat memetik buah kelapa. Petani tersebut
mulai memetik satu, dua, tiga buah kelapa dan menjatuhkannya satu demi satu ke
tanah atau ke jalan desa, atau ke batu dan sebagian ada yang pecah, ada yang
retak dan beruntung dia kalau masih utuh.
Itu belum cukup. Petani masih harus mengulitinya
agar bisa memanfaatkan kandungannya. Setelah kulitnya hilang, kemudian Petani
mengambil sabit untuk membelah buah kelapa tersebut. Itupun masih belum cukup.
Tahap berikutnya biji buah kelapa dilepas paksa dari tempurungnya, kemudian
dimasukkan ke mesin giling agar hancur
atau orang kampung biasa menyebutnya dengan istilah memarut. Setelah hancur dan lunak, kemudian diperaslah dia agar
mengeluarkan air santan yang putih itu.
Begitulah penderitaan Sang Buah Kelapa untuk
mencapai penuh kebermaknaan, itupun ternyata belum cukup. Sang Santan hasil
perasan tersebut harus direbus sampai mendidih, dan ditunggu sampai menguapkan
seluruh kandungan air yang ada. Kemudian diperaslah lagi agar residu [ampas]
bisa dipisahkan dengan minyak kepala [minyak goreng] itu. Itupun dia masih
belum bermakna, tidak ada cerita ada orang meminum minyak kelapa. Artinya
minyak kelapa tersebut masih belum bisa dikonsumsi atau belum dapat diambil
manfaatnya oleh masyarakat.
Barulah setelah minyak kelapa digunakan untuk
menggoreng, apakah itu ketela pohon, ubi tanah, atau ikan, atau daging, atau
makanan yang lain, barulah nampak manfaatnya. Tanpa dikomplementasikan
[digabungkan] dengan lainnya dia belum bisa bermanfaat secara optimal.
Artinya kita jangan mudah putus asa, banyak
penderitaan yang mungkin dilalui agar diri kita bermanfaat bagi sesama. Katanya
nilai seseorang itu tergantung seberapa besar manfaatnya bagi sesamanya.
“Khoirun nassi anfauhum linnass” sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling
bermanfaat kepada sesamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar